Tampilkan postingan dengan label Ahmadiyah News. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ahmadiyah News. Tampilkan semua postingan

Rabu, 14 Desember 2011

For minorities in Pakistan, persecution never ends


Dug out, desecrated graves at the Ahmadi graveyard. Dug out, desecrated graves at the Ahmadi graveyard. PHOTO: MASAUD SARWAR Dug out, desecrated graves at the Ahmadi graveyard. PHOTO: MASAUD SARWAR
Dug out, desecrated graves at the Ahmadi graveyard. PHOTO: MASAUD SARWAR

DUNYAPUR: Even in death, the Ahmadiyya community faces persecution.

In a gruesome incident late Saturday night, 29 graves in an Ahmadi graveyard were desecrated in Dunyapur, district Lodhran, around 100 kilometres away from Multan.

The community’s spokesperson Saleemuddin told The Express Tribune that unidentified people entered the graveyard and broke the plaques (katbe) of a large number of graves, while digging around 29 others. Only two graves that were made of marble were left concrete, he said.

Saleemuddin said local representatives of the community have approached the police and submitted an application for legal action, but no investigation has been undertaken so far. Police officials have asked the community to first rebuild their graves after which the issue would be further investigated, he added.

DPO Lodhran Agha Muhammad Yusuf while talking to The Express Tribune confirmed that the graveyard had been desecrated, adding that the area’s DSP is looking into the matter. The DPO said he would look into the case after investigations are completed.

The graveyard is said to be established in 1976, but Saleemuddin claimed that said it was made 80 years ago.

Religious tension is high in Dunyapur where around 15 families belonging to the Ahmadiyya community reside.

Saleemuddin said that around six months ago, a private school run by a member of the Ahmadiyya community was forcefully closed down by residents. People took to the streets and to shut the school where many Muslim children were being educated free of cost, he said.

The next face of persecution may be the take over business and properties of the community, he feared.

Unfortunately, this is not the first such incident. Around two months ago, another Ahmadi graveyard located in Haveli Majokan district Sargodha was dug up, humiliating and angering community members.

He said the incidents of desecrating graves of the Ahmadiyya community have increased over the last few months. He said that till now, a total of 30 such cases have been recorded in the country.

source: thepersecution

Rabu, 19 Oktober 2011

Mindless EDL thugs storm Muslim exhibition in Cradley Heath market

A MUSLIM book stall in Cradley Heath market was stormed by over 25 thugs from the English Defence League this weekend.

The shocking attack occurred in front of shoppers, many of which were women and children, at the market at 2.30pm on Saturday.

The local Ahmadiyya Muslim book stall and Qur’an exhibition was attacked and volunteers were manhandled and abused by members of the Far Right organisation.

Shocked Ahmadiyya outreach worker Toby Ephram described the scene in the market.

He said: “About 25 of the EDL group stormed our stall in Cradley Heath pushing, shoving and threatening our members.”

“We have the book stall to raise awareness of our work in Britain and in the local community we are proud to be British Muslims and this incident saddened us.

“Our motto is ‘Love for All - Hatred for None’ and we do not meet violence with violence so we just stood there and did not respond to the provocation.”

He added: “I’d like to thank the police for responding to the problem so quickly and controlling the situation and we will be back as usual at the market on Saturday.”

Last week the News reported the Muslim group was setting up the stall and exhibition in a bid to ‘increase understanding and improve community cohesion’.

Halesowen and Rowley Regis MP James Morris condemned the incident and branded it an ignorant and mindless attack.

He said: “The people storming the stall may claim that they are defending their English identity, but tolerance for other people’s views and beliefs has long been a key part of what it means to be English.

“The Ahmadiyya Muslim Community in Cradley Heath actively works to help different sections of our society to live peacefully alongside each other, whatever their religion.”

He added: “This mindless attack is absolutely deplorable and can only have been caused by ignorance of the views and action of the Ahmadiyya Muslim Community locally.”

A spokesman for West Midlands Police said: “We were called at 1.40pm with reports of people causing a disturbance in the Market Square area of Cradley Heath. “Officers attended the scene and the groups dispersed.”

On Boxing Day 2009 Cradley Heath Mosque and Islamic Centre in Plant Street was burnt to the ground by arsonists.

source: www.halesowennews.co.uk

Senin, 03 Oktober 2011

Peresmian Mesjid Terbesar di Skandinavia oleh Jamaah Muslim Ahmadiyah


Pemimpin Jamaah Muslim Ahmadiyah seluruh dunia, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad telah secara resmi membuka Masjid Baitul Nashr di Oslo pada Jumat, 30 September 2011. Masjid ini merupakan masjid terbesar di wilayah Skandinavia dan memiliki kapasitas 4.500 jamaah. Terlihat dari jauh, masjid tersebut telah menempatkan dirinya sebagai landmark nasioanal dan simbol perdamaian.

Masjid ini telah diresmikan oleh Hadhdat Mirza Masroor Ahmad selama khutbah Jumat yang disiarkan langsung di seluruh dunia melalui MTA (Muslim Television Ahmadiyya) International. Peresmian masjid ini juga telah menyita banyak perhatian dari media dan disiarkan secara luas oleh media-media nasional Norwegia, diantaranya NRK.

Dalam Pidatonya Hadhrat Mirza Masroor Ahmad mengatakan bahwa berbagai media massa telah melakukan wawancara dengan beliau selama seminggu terakhir. Mereka masing-masing bertanya apa tujuan pembangunan dari masjid ini dan bagaimana perasaannya terhadap itu. Beliau menjawab kepada semuanya bahwa Masjid adalah tempat dimana perdamaian dalam masyarakat akan dipupuk melalui penyembahan terhadap Tuhan yang Maha Esa.

Kemudian pada hari itu, Jamaah Muslim Ahmadiyah di Norwegia menyelenggarakan resepsi resmi untuk menandai pembukaan masjid tersebut. Lebih dari 120 pejabat dari semua semua bidang masyarakat Norwegia menghadiri acara tersebut. Para tamu disambut oleh Amir Jamaah Ahmadiyah Norwegia, Zartasht Munir Khan, yang menginformasikan bahwa Masjid tersebut telah dibiayai sepenuhnya oleh Muslim Ahmadiyah. Beliau mengatakan bahwa ribuan jamaah telah memberikan kontribusi terhadap proyek ini termasuk ada yang sampai menjual rumahnya dan ada juga yang telah menjual mobilnya untuk mengumpulkan dana.

Menteri Pertahanan, Grete Faremo, menghadiri acara atas nama Pemerintah Norwegia dan juga beliau menyampaikan pesan atas nama Perdana Menteri Jens Stolenberg. Dalam komentarnya beliau mengatakan:

“Agama selalu memainkan peran penting di Norwegia. Norwegia baru juga memiliki peran sentral untuk agama. Jadi kita harus membuka semua pintu kita dan mengundang semua orang lain seperti yang kita lihat disini pada hari ini. Ini bukan tempat saya beribadah, tetapi terlepas dari ini saya masih merasakan kehangatan nyata disini.”

Puncak resepsi pada malam itu adalah pidato yang disampaikan oleh Hadhrat Mirza Masroor Ahmad. Dalam pidatonya beliau berbicara tentang hubungan antara Ahmadiyah dan warga lokal Norwegia. Beliau mengatakan:

“Hal ini sangat menggembirakan melihat bahwa terlepas dari perbedaan warna kulit dan ras, kalian semua secara kolektif bekerja untuk kemajuan bangsa. Kalian semua yang merupakan tamu kami, hari ini telah datang kesini karena hubungan anda dengan berbagai anggota Komunitas Ahmadiyah dan kalian semua telah merepon cinta sayang yang telah ditunjukkan oleh Ahmadi Muslim dengan cinta itu sendiri.

Beliau juga menggunakan kesempatan itu untuk berbicara tentang serangan teroris yang terjadi di norwegia awal tahun ini. Beliau berkata:

“Saya inign berbicara tentang tragedi mengerikan yang terjadi di Norwegia beberapa minggu lalu pada tanggal 22 Juli 2011.Dari perspektif masyarakat kami, setiap Ahmadi Muslim Norwegia, dari manapun mereka berasal, merasasakan sakit dan kesedihan yang mendalam atas insiden yang mengerikan itu.

Ketika kita merenungkan tragedi menjijikkan itu, biarkan menjadi jelas bahwa tidak hanya Ahmadiyah di Norwegia yang telah merasakan kehancuran dan kesedihan, tetapi sebenarnya semua Muslim ahmadi di seluruh dunia merasakan kerugian anda dan berbagi dalam kesedihan.Saya telah mengirimkan belasungkawa saya kepada pemerintah Norwegia, namun saya ingin mengambil kesempatan ini sekali lagi untuk mengungkapkan belasungkawa yang mendalam dari diri saya dan setiap Muslim Ahmadi di seluruh dunia, kepada keluarga korban, kepada pemerintah dan seluruh bangsa Norwegia.

Beliau menyimpulkan dengan mengatakan:

“Yakinlah bahwa setiap Muslim Ahamdi yang memasuki Masjid ini akan memiliki cinta sejati dan mendalam bagi umat manusia dan juga akan sepenuhnya mematuhi hukum negara ini. Yakinlah bahwa setiap Muslim Ahmadi yang memasuki masjid ini akan berada di garis depan mencoba untuk menghilangkan kekejaman dimanapun terjadi dan akan selalu siap untuk berkorban setiap diperlukan guna mencapai tujuan ini.”

source: agama-islam.org

Sabtu, 10 September 2011

Another Ahmadi Muslim killed in Pakistan

5th September, 2011
PRESS RELEASE

Another Ahmadi Muslim killed in Pakistan
Naseem Ahmad Butt (55), was martyred in Faisalabad

It is with great sadness that the Ahmadiyya Muslim Jamaat hereby confirms that on 4 September 2011, a well-known and respected Ahmadi Muslim, Mr Naseem Ahmad Butt (55), was martyred in Faisalabad, Pakistan.

Naseem Ahmad Butt was sleeping in his home in Muzzaffar Colony, Faisalabad when four unknown assailants jumped over the wall of his home and fired at him. He was shot in his stomach and chest. The assailants immediately fled the scene.

Naseem Ahmad Butt was left critically injured and was taken to hospital. Despite attempts to revive him, he passed away at approximately 9am local time.

Naseem Ahmad Butt was a peaceful and law abiding citizen who was kind and generous to all. He served the Ahmadiyya Muslim Jamaat with great distinction throughout his life.

He is survived by his wife, four daughters and one son. He has been buried at Bahishti Maqbara, Rabwah.

The Press Spokesman of the Ahmadiyya Muslim Jamaat, Abid Khan said:

“The religious extremists within Pakistan have taken yet another innocent life. What they perhaps fail to realise is that through their actions they are harming the entire peace and stability of Pakistan as a whole. Hatred and persecution of any organisation or group must be condemned by all those who believe in tolerance and love for humanity. Such attacks serve only to destabilise society and to spread discord”

This latest murder continues the trend of Ahmadi Muslims being targeted in Faisalabad. One year ago, a cousin of the deceased, Mr Naseer Ahmad Butt was also martyred in a brutal and barbaric fashion. Furthermore, recently leaflets were openly distributed in the city, stating that the killing of Ahmadi Muslims was worthy of praise and would be rewarded by God. These leaflets contained the names and addresses of various Ahmadi Muslims and it seems that this latest killing was likely motivated by such hate propaganda.

The International Community, Media and Human Rights organisations are all urged to take action to safeguard the basic human and civil rights of Ahmadi Muslims both in Pakistan and in other countries where they face discrimination. In an era where freedom of religion and belief is accepted as a basic human right throughout the world it is of disbelief that anti-Ahmadiyya legislation is still active and indeed still being enforced in Pakistan. If such hatred and sectarianism is allowed to continue then it is inevitable that further tragedies will occur.

22 Deer Park Road, London, SW19 3TL UK
Tel/Fax: 020 8544 7613 Mob: 077954 90682
Email: press at ahmadiyya.org.uk

Press Secretary AMJ International

Rabu, 20 April 2011

Fears of Indonesia’s Ahmadiyah sect


In the Indonesian city of Bogor, members of a small Islamic sect called the Ahmadiyah tried to ignore the police patrol car parked opposite their mosque as they walked to Friday prayers.

Peering in through the window, I could see them kneeling, facing Mecca, listening to a sermon.

But at any slight noise, several heads turned round nervously.

The Ahmadiyah are afraid and it is obvious why. Hardline Islamic groups want the sect to be banned - they say it deviates from the tenets of Islam, and therefore has no place in Indonesian society.

Over the past few months these hardliners have become increasingly vocal in their demands - holding rallies in central Jakarta and airing their views in the media.

But some have taken it even further. In February, a violent mob bludgeoned three Ahmadis to death. Since then, houses and mosques have been attacked and protesters have vowed to escalate the violence if they do not get their way.

And it is not just hardliners who want the Ahmadiyah disbanded.

In TV talk-shows and internet chat-rooms, it is obvious that an increasing number of Indonesians, while not condoning the violence, would like to see an end to the Ahmadiyah in their country.

One man we spoke to, who lived opposite the Ahmadis’ mosque in Bogor, said he thought it would be better if they just went away.

Even the local authorities are making life difficult for them.

In common with some other provinces, officials in West Java - which includes the city of Bogor - have recently issued a new set of decrees restricting the Ahmadiyah’s activities.

The Ahmadiyah are not allowed to promote any of their activities, or convert anyone to their faith. They are also being encouraged to attend meetings to re-integrate themselves into mainstream Islam.

Low profile

So what have the Ahmadiyah done that is causing so much offence?

When I watched their prayers through the window, there did not appear to be any obvious differences between the Ahmadis and the mainstream Sunni Muslims who make up the majority of the Indonesian population.

The men were modestly dressed, and the women - confined to the balcony - wore the hijab. The format seemed virtually identical to Islamic prayers I have seen in other mosques.

Afterwards, when I spoke to Muhammad Harris, the local Ahmadiyah leader, he agreed that his faith was actually very similar to that of his Sunni neighbours.

“The prophet Muhammad is the last prophet - there is no other prophet after him,” he said.

“But unlike other Muslims, we believe our founder was a loyal disciple who was chosen to continue the teaching of Islam that came through Muhammad.”

Hardline Islamic groups, though, insist the Ahmadiyah faith disputes that Muhammad was the last prophet, and is therefore nothing short of blasphemy - an offence against Islam and a violation of Indonesian law.

And Mohammad Harris is suffering for it.

There used to be a sign outside his mosque saying it belonged to the Ahmadiyah, but that has been taken down now, after officials asked for it to be removed.

People he knows have had to flee their homes after being threatened, and having their mosques and homes attacked.

His own mosque has not been affected, but given the presence of the police patrol outside the building - one plain-clothed officer was even inside, mingling with the congregation - it is obvious that it might be a target.

‘Took an oath’

While local authorities have been announcing decrees against the sect, the national government has so far shied away from making any definite pronouncements against the Ahmadiyah.

After all, although Indonesia is the world’s most populous Muslim country, it has a secular constitution - including the right to freedom of religious expression.

Nasarudin Umar, the religious ministry’s director general for Islamic guidance, said he wanted to explore other measures before banning the Ahmadiyah.

“We’re asking Islamic groups, clerics and experts to give comprehensive guidance to both Ahmadiyah members and mainstream Muslims. We believe that the more they understand their religion, the more co-operative they’ll be.

“In terms of whether the Ahmadiyah should be banned, we’re still studying whether it will be the best.”

Other officials, though - including the religious affairs minister Suryadharma Ali - have already decided that the sect should be disbanded.

For human rights groups, this is a very worrying sign. In the past, Indonesia has often been praised for its religious tolerance, allowing many different faiths to live together side by side.

Poengky Indarti, executive director of the rights group Imparsial, said that if the government decided to ban the Ahmadiyah, other minority groups might meet the same fate.

“In the near future I think that it’s also dangerous for the Shia groups here in Indonesia, because many Indonesians are majority Sunni - I’m afraid this will become a clash between Islam versus Islam,” she said.

But whatever the government tries to do to limit the Ahmadiyah, the one thing it will not be able to do is convert the faithful, Muhammad Harris among them.

“God willing I’ll always be an Ahmadiyah,” he said. “I took an oath to follow it and I’m going to stick to it.”

Source: thepersecution.org

Selasa, 29 Maret 2011

Ministry to hold another meeting on Ahmadiyah

Muslim organizations, law experts, human rights watchdogs and Ahmadiyah figures will hold a dialogue on the Ahmadiyah on Tuesday and Wednesday, the religious affairs minister said Monday.

Minister Suryadharma Ali said the two-day dialogue hosted by his office would give equal chance to Muslim organizations, including the Islam Defenders Front (FPI), Ahmadiyah figures, experts and human rights activists, to present their opinions on the Islamic sect.

Last week, the ministry also held a meeting on the Ahmadiyah on the heels of a fatal clash and the issuance of bylaws banning the Ahmadiyah. Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) refused to attend the meeting, saying the meeting was biased judging from the list of invitees.

JAI’s legal consultant, Indonesia Legal Aid Institution Foundation (YLBHI), told The Jakarta Post that JAI would once again not attend Tuesday’s or Wednesday’s meeting.

Tadzkirah Dan Kitab Suci Ahmadiyah

Kenapa mereka mengatakan Kitab Suci kami Tadzkirah? Padahal Kitab Suci Kami Al-Qur'an

Setelah peristiwa Cikeusik, pemberitaan tentang Ahmadiyah dan aktifitasnya cukup mendominasi media-media di Indonesia dan cukup banyak media asing yg juga memberitakannya.

Berbagai forum resmi maupun kelompok-kelompok masyarakat diujung-ujung jalanpun tak luput dari membicarakan Ajaran Ahmadiyah.

Pembicaraan tentang Ahmadiyah tentu saja lebih diwarnai perbedaan ajaran tersebut seperti tentang kitab suci nya yang berbeda hingga kepercayaan mereka tentang Imam Mahdi yang sudah turun.

Tim Beritajitu.com yang langsung menemui cukup banyak pengikut Ahmadiyah justru mendapatkan banyak sekali informasi yang berbeda dengan informasi yang beredar di masyarakat luas.

Semua pengikut Jamaah Ahmadiyah yg ditemui tim beritajitu.com mengatakan bahwa Kitab Suci mereka (Jamaah Ahmadiyah) adalah Al-Qur'an. Bahkan dari pengamatan tim beritajitu.com , hanya sedikit sekali pengikut Jamaat Ahmadiyah yang memiliki Tadzkirah yg ternyata adalah kumpulan dari pengalaman-pengalaman rohani Mirza Ghulam Ahmad yg dibukukan di era ke-khalifahan kedua dalam silsilah Kekhalifahan Jamaah Ahmadiyah.

"Bagi kami pengikut Jamaah Ahmadiyah, Kitab Suci kami adalah Al-Qur'an. Lalu Kenapa mereka selalu mengatakan kitab suci kami Tadzkirah?" Kata beberapa pengikut Ahmadiyah lagi.

Ketika tim beritajitu menanyakan apa yg berbeda dari ajaran Ahmadiyah? Beberapa pengikut Ahmadiyah mengatakan perbedaan cuma satu, yakni kami percaya bahwa Imam Mahdi Sudah datang.

Selasa, 15 Maret 2011

ABDUL BASIT, AMIR NASIONAL JEMAAT AHMADIYAH INDONESIA: KAMI TIDAK PERNAH DIAJAK DIALOG

Kekerasan atas nama agama yang menimpa warga Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Cikeusik, Banten, 6 Februari lalu, berbuntut lahirnya peraturan daerah yang diskriminatif. Peraturan itu muncul dari Jawa Timur dan Jawa Barat. Kedua gubernur itu sama-sama menerbitkan peraturan yang melarang aktivitas Ahmadiyah.

Ketua Umum Pengurus Besar, atau kerap disebut Amir Nasional JAI, Abdul Basit, heran dengan munculnya peraturan daerah yang dinilai tidak jelas itu. “Apa yang dimaksud aktivitas?” katanya saat ditemui di Kantor Pusat JAI di Kompleks Kampus Mubarok di Kemang, Parung, Bogor, Jawa Barat, Rabu lalu. Dia menampik penilaian bahwa aktivitas Ahmadiyah telah mengganggu ketertiban. “Aktivitas kami, ya, hanya salat di masjid,” ujarnya.

Basit, yang sejak lahir menganut paham Ahmadiyah, telah empat periode memimpin organisasi keagamaan yang berpusat di London, Inggris, ini. Basit menjadi Amir Nasional sejak 2002. Warga Bandung, Jawa Barat, ini menempa ilmu agama sejak kuliah di Rabwah, Pakistan. Basit meneruskan peran ayahnya, yang juga mubalig di Ahmadiyah. Namun karier Basit lebih moncer ketimbang sang ayah. Bapak lima anak ini pernah mengemban tugas dakwah di Thailand, Malaysia, Singapura, dan Inggris.

Kini Basit dan keluarganya tinggal di Kantor Pusat Jemaat Ahmadiyah Indonesia di kompleks seluas 3,5 hektare itu. “Sebagian besar pengurus besar tinggal di kompleks ini,” katanya. Dari kawasan yang sepi, indah, dan asri ini Basit memimpin jemaahnya. Salah satunya, menyelesaikan persoalan yang membelit jemaah belakangan ini.

Di ruang guest house, Basit ditemani mubalig lokal Rakeeman R.A.M. Jumaan, mubalig lokal Naib atau Wakil Amir Mirajudin Sahid, serta anggota staf redaksi buletin Darsus, Sukma Fadhal Ahmad, menuturkan perasaan dan sikap Jemaat kepada Akbar Tri Kurniawan dan fotografer Yosep Arkian dari Tempo. Suguhan yang menghangatkan pagi itu berupa teh tarik ala Pakistan dan beberapa kudapan. Obrolan berakhir di meja makan untuk santap siang dengan menu kare India, irisan buncis dan wortel, serta sambal.

Belakangan ini beberapa pemerintah daerah menerbitkan peraturan daerah melarang aktivitas Ahmadiyah. Bagaimana tanggapan Jemaat Ahmadiyah Indonesia?

Kami mendapat penjelasan dari kantornya Bang Buyung (pengacara senior Adnan Buyung Nasution, yang mengonsep Surat Keputusan Bersama 3 Menteri tentang Ahmadiyah) bahwa tidak ada pembekuan. Okelah itu ranah hukum. Ketika (SKB) ini diambil sebagai bahan rujukan untuk melarang Ahmadiyah, sudah jauh menyimpang. Seperti (peraturan daerah) yang di Jawa Timur dan lainnya, kurang-lebih sama isinya: “Dilarang beraktivitas”. Itu pun tidak jelas aktivitas itu. Seingat kami, warga kami ini, di masjid, ya, ibadah. Salat lima waktu. Pas Jumat, ya, jumatan, tadarus kalau ada. Apa yang mesti dilarang? Saya heran. Padahal jelas perintahnya “Hai manusia, beribadahlah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu.” Disuruh beribadah. Kenapa melarang itu, apa yang tidak boleh?

Ada tanggapan lain?

Kami ini masih berbadan hukum. Sudah lama (ada). Tidak ada pembubaran dan pelarangan. Lalu, atas dasar apa kami dilarang? Makanya belum jelas, banyak pernyataan dari Menteri Dalam Negeri memicu protes. Bukan dari kita, tapi pakar hukum. Yang tidak boleh itu apa? Kalau tidak salah, Mendagri bilang ibadah tidak dilarang. Tapi di berbagai tempat, di daerah kecil tidak boleh. Jadi, yang begini-begini efeknya, susahnya nanti sesuka-sukanya. Ada aparat desa, aparat kecamatan melarang semua. Rujukannya ke situ, karena di situ dituliskan segala aktivitas.

Aktivitas apa yang tidak boleh?

Makanya kita harus merujuk SKB yang dibuat bareng. Kita lihat di lapangan ini banyak orang tidak tahu SKB. Pemerintah tidak paham, jadi begitulah. Kita selalu sosialisasikan bahwa itu (SKB) harus cermat dibaca. Sehingga bisa menarik kesimpulan mana yang boleh dan tidak boleh. Kalau hanya aktivitas saja, kan bisa disalahartikan. Yang namanya ibadah kan bukan aktivitas.

Organisasi harus bersosial, tapi kami tidak boleh beraktivitas. Ini rancu. Ada satu larangan dalam surat di Jawa Barat, kami tidak boleh memakai atribut JAI. Di Jawa Timur juga begitu. Tapi kami ini ikut peraturan berorganisasi oleh negara bahwa organisasi yang berbadan hukum harus memasang papan nama organisasi massa. Bahkan kalau kantor pusat ukurannya berapa, kalau di cabang berapa, disebutkan, begitu aturannya. Ketika ada larangan itu, mereka sendiri yang mau menurunkan, silakan saja!

Waktu di DPR, Anda dan anggota Dewan bersepakat lebih banyak menggelar dialog di pusat dan daerah. Apakah dialog juga dilakukan di tingkat bawah?

Selama ini kita hampir tidak pernah diajak (dialog), di mana-mana. Jadi seolah-olah pemutusan sepihak. Jadi begini, ini kan ada dua. Satu ranah hukum dan ranah teori. Di daerah-daerah, kami hampir tidak pernah diajak dialog. Tampaknya mereka ini di sana-sini memutuskan begitu. Ya, kita mau apa dengan yang begini. Kemarin dengar pendapat (dengan DPR) kami tidak bisa menjelaskan keseluruhan. Makanya, salah satu opsi yang kita ajukan, ajaklah kami berdialog. Karena, ketika kita mempunyai tindakan yang sama, hukum yang sama, Al-Quran dan Sunnah, kalau ada perbedaan lebih senang kita berdialog. Nanti akan ketemu titik temunya di mana, akan lebih mengerucut dan lebih jelas. Tapi kalau sudah diketok, tidak usah (dialog), susah juga kita. Kalau begitu, bangsa ini akan menjadi bangsa yang jumud.

Bagaimana Ahmadiyah di negara tetangga?

Kalau di Malaysia, kami tidak dianggap orang Islam. Tapi di sana hukum berjalan tegas. Ya, sudahlah. Kami tidak pernah dilarang, apalagi untuk beribadah, mengadakan pertemuan tahunan. Tidak pernah seperti itu. Selama kita beraktivitas di tempat sendiri, kadang kita sewa untuk berkumpul. Di sana polisi tegas. Jadi, kalau ada apa-apa, misalnya ada yang mau protes merusuhi, polisi langsung bertindak. Saya lama di sana. Kalau kami mengadakan acara begini-begini, oke. Lapor biasa saja, acaranya apa, oke, jalan. Tidak ada yang mau mengusik kita, merusak. Mereka mengatakan tegas, “Polisi itu urusannya keamanan. Urusan keyakinan bukan urusan kami (polisi).” Ini kan masalah keyakinan, tidak bisa digunakan hukum positif. Dipaksakan tidak bisa. Urusan negara adalah urusan ketertiban. Urusan keimanan, nanti hisabnya dengan Allah SWT.

Kami ini tersebar di 180 negara, di Eropa, Afrika. Kami tidak akan bertentangan di Barat dan di mana-mana. Selama mereka warga negara dari satu negara, kami wajib taat pada hukum negara.

Bagaimana JAI memproses badan hukum?

Lancar saja. Tidak ada apa-apa, akhir-akhir ini saja setelah reformasi. Kami memproses badan hukum tahun 1953. Ada dokumennya.

Daerah mana yang luwes menerima keberadaan Ahmadiyah?

Yogyakarta, Jawa Tengah, itu sangat terbuka, sudah puluhan tahun bergaul dengan masyarakat. Di daerah-daerah seperti Papua, Sulawesi Utara, daerah-daerah yang masyarakatnya majemuk. Rata-rata yang keras itu di daerah Jawa Barat.

Bagaimana hubungan Jemaat dengan warga sekitar?

Biasa saja. Seperti di Manis Lor (Kuningan), lurahnya saja dari kita. Di perbatasan Garut dan Sukabumi juga banyak warga Ahmadiyah. Mereka menyatu ikut membangun desa. Ada yang jadi guru di berbagi bidang, macam-macam. Di Wonosobo biasa-biasa saja. Yang merusuhi tanah-tanah kita, ya, orang-orang dari luar daerah itu. Kita kalau membangun apa-apa, ya, mendahulukan orang di sekitar untuk bekerja.

[Naib Amir Mirajudin Sahid menambahkan: Di Banjarnegara, lurah dari Ahmadiyah diangkat sampai empat kali. Awalnya memang dihujat karena Ahmadiyah.]

Bagaimana menyikapi peraturan daerah itu?

Saya hormati itu semua. Saya selalu menganjurkan kepada warga Ahmadiyah, coba pelajari dulu itu (peraturan daerah), terus dari situ teruskan seperti ibadah. Sikapi dengan bijaksana dan teruskan aktivitas seperti biasa, karena kami selama ini tidak pernah melanggar undang-undang. Aktivitas kami baik secara institusi sekalipun, dari dulu. Dan Anda bisa lihat track record kami di berbagai negara. Kami tidak pernah ada sesuatu yang melanggar hukum. Makanya, di awal saya mengatakan: coba saja aktivitas kami ini apa selain tarbiyah (belajar) itu saja. Karena itu, apa pun larangannya, kita terus jalan saja. Masak, ketika di jalan kami tidak boleh ibadah.

Apa yang dikhawatirkan dari peraturan daerah itu?

Aturan ini sering disalahgunakan. Makanya diprotes oleh pakar hukum. Dengan begini, akan seenaknya main hakim sendiri, ini sekte atau apa. Ada kejadian di beberapa tempat. Ada satu tempat di Palu, di sana ada beberapa keluarga Ahmadiyah, mendirikan musala, ukurannya kecil. Tiap hari ya biasa salat lima waktu, belajar mengaji, anak-anak. Lalu datang aparat dari desa, melarang kami memakai musala, ibadah (diminta) di rumah saja. Kayak model-model seperti itu. Yang kami tangkap, seluruh aktivitas tidak boleh.

Apakah akan menguji secara hukum perda itu ke Mahkamah Konstitusi?

Kalau memungkinkan, kenapa tidak? Kan peraturan itu berkategori (hierarki), jadi bisa di-judicial review di Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung. Yang begini-begini kami usahakan. Dan ini kami limpahkan ke kuasa hukum, ada Lembaga Bantuan Hukum. Kami juga berkonsultasi dengan Adnan Buyung Nasution. Yang kami tuntut mungkin satu saja. Advokasi kami terus jalan. Jadi, tidak akan semua perda kami ajukan. Cukup satu saja, bisa Jawa Timur dan Jawa Barat, ini masih proses.

Tindak kekerasan sudah sering, bagaimana Anda menyiapkan mental keluarga?

Ya, saya yakin hukum masih ditegakkan. Soal keamanan dan ketertiban segera dikoordinasikan dengan aparat. Itu saja. Kan masih ada Allah SWT. Secara pribadi, kami tidak melanggar apa-apa. Jadi, apa yang harus kami takutkan?

Ada instruksi khusus kepada jemaah menghadapi situasi yang berkembang seperti ini?

Kami anjurkan untuk banyak berdoa, percaya kepada Allah, ancaman ini serahkan kepada aparat polisi atau tentara. Kalau kita tidak melapor, kita juga salah. Jangan mengambil hukum di tangan sendiri. Jadi, kalau dibilang bentrok, tidak ada bentrok. Kita yang diserang. Ini kan disorot dunia internasional.

Anda berusaha meraih simpati masyarakat internasional?

Tidak usah kami sebarkan, berita ini sudah menyebar. Kami tak perlu ngomong, orang lain tahu. Kan banyak yang protes ke kedutaan. Selain itu, ada juga lembaga Amnesty International. Kemudian banyak lagi non-governmental organization yang sangat concernterhadap hal-hal seperti ini. Jadi, kami tidak minta, mereka mencari sendiri.

Misi apa yang menjadi fokus dari Ahmadiyah pusat?

Kalau di sini, kami banyak resistensi. Untuk izin rumah sakit kesehatan, susahnya setengah mati. Kalau di negara Afrika, malah pemerintah yang menyediakan tanahnya. Rumah sakit dan sekolah kami banyak di Afrika. Di sana kami masuk pada 1930-an. Waktu itu Afrika sangat terbelakang. Karena hasilnya bagus, resistensi kepada kita kurang. Di sana kami juga menyediakan air minum, solar cell, itu kita buat. Tapi tidak cari untung. Di negara berkembang juga banyak permasalahan kesehatan mata, kami datangkan pakar-pakarnya.

Di Indonesia?

Kami belum sampai situ, karena masih (ada) resistensi. Paling cuma sekolah, itu pun beberapa diganggu. Kalau membuka, pasti bisa. Bukan untuk bangga, tapi kami ingin bisa berbuat sesuatu untuk bangsa ini. Kita mau mendirikan klinik di depan kompleks ini saja susahnya setengah mati.

Ketika mengadakan kegiatan sosial, JAI tidak menyebutkan nama?

Lihat kondisinya. Ada yang bergabung dengan Fatayat NU. Contohnya, ketika ada (kegiatan) Go Green, kami siapkan 125 ribu bibit di berbagai tempat, wakil pemerintah juga datang. Kami juga meminta setiap orang Ahmadiyah menanam itu.

Tidak usah jauh-jauh, kami itu organisasi terbesar yang melakukan donor mata di Indonesia. Sehingga Ketua Bank Mata Jakarta mengatakan, kalau tidak ada Ahmadiyah, ini sudah bangkrut. Donor darah juga termasuk nomor dua organisasi yang menyumbangkan. Tanya saja ke Palang Merah Indonesia Manis Lor, Kuningan. Berapa banyak yang rutin donor darah. Sampai-sampai, kalau orang kekurangan darah, datang ke Manis Lor, tidak usah bayar, kami siap. Rutin kami adakan donor darah dan mata.

Berapa yang sudah mendonorkan mata?

Kami targetkan 10 ribu donor, sekarang sekitar 6.000. Kapan pun kalau meninggal dan mendonorkan mata, silakan saja diambil. Ini anjuran, amal jariyah.

Bagaimana perjalanan Ahmadiyah selama ini?

Semua ada plus-minusnya. Tapi warga Ahmadiyah menilai zaman Sukarno oke. Keadaan masyarakatnya lebih santun. Saya sudah 60 tahun hidup di sini. Sejak kecil saya hidup di Garut. Teman akrab saya itu dari NU, Muhammadiyah, dan Persis. Tetapi tidak ada itu mencerca. Hampir semua datang ke rumah berdialog. Orang NU yang mendirikan IAIN Sunan Gunung Jati itu akrab dengan ayah saya. Jadi, hampir tidak ada mencerca. Mereka santun. Bisa berbeda tetapi tetap bermasyarakat. Kalau zaman Soeharto, tahu sendiri penegakan hukumnya, tidak usah cerita lagi, semua tahu (tertawa). Sekarang ini, ya, begini.

Cerita miris seperti apa lagi yang dialami Ahmadiyah sekarang?

Ada satu kejadian di Manis Lor, warga Ahmadiyah yang mau menikah ditolak oleh Kantor Urusan Agama. Di Lombok, ketika warga Ahmadiyah mengungsi, tidak diberi kartu tanda penduduk. Sampai anak-anaknya mau bersekolah, susah; mau ke puskesmas, susah. Jadi, alasannya macam-macam. Kualitas aparat di daerah ini tidak bisa membedakan dirinya sebagai aparat yang digaji dengan duit pajak. Warga Ahmadiyah juga bayar pajak. Jadi, bias pribadinya ikut, bukan sebagai pelayan. Itu kan hak sipil, warga Ahmadiyah adalah warga Republik Indonesia.

Yang dilarang menikah jadinya tetap menikah tanpa hukum negara?

Tidak. Kami cari KUA yang mau. Pergi ke kecamatan tetangga, minta nikah.

Kalau yang tidak diberi KTP?

Ya, bingung. Kalau kita mau diusir, ya, pasti pemerintah bakal repot dan ribut sendiri.

Apa kegiatan Anda?

Kalau pagi-pagi, ya, saya cek surat, e-mail, lalu membalasnya. Kalau keluar, ya, paling kunjungan ke daerah. Saya sudah sebulan lebih tidak keluar karena situasi seperti ini. Sekali kunjungan bisa seminggu. Banyak daerah yang perlu dikunjungi. Kami selalu berhubungan dengan Khalifah di London. Kalau tidak pagi, ya, sore. Kantor pusatnya itu mengikuti Khalifah. Di mana Khalifah berada, di situlah kantor pusatnya. Kebetulan sekarang ada di London.

Apa perintah Khalifah atas kejadian di Cikeusik?

Banyak berdoa, tingkatkan ibadah, hubungan umat harus ditingkatkan. Jalin hubungan dengan masyarakat, termasuk pemerintah. Kan banyak informasi yang salah dan harus dibenarkan. Selalu bersikap santun.

Apa hikmah dari peristiwa Cikeusik?

Kami bisa lebih dewasa. Anggota kami juga lebih khusyuk ibadahnya, lebih banyak berdoa. Tarbiyah itu ada yang singkat dan lambat. Dengan kejadian ini, orang-orang kami makin kuat, lebih solid persaudaraannya. Di Afrika Barat, kami mempunyai Rumah Misi. Ini sebutan kami, yang isinya ada masjid, kompleks perumahan, sekolah, perpustakaan. Ada kiai yang datang ke rumah mubalig kami. Video Cikeusik itu diputar, entah mereka dapatkan dari mana, kan itu sudah tersebar di YouTube. Tidak sampai satu menit, kiai itu mengatakan “stop-stop”. Inilah Ahmadiyah yang sedang dibunuh. Lalu kiai mengatakan, “Apakah ini orang Islam, dan mereka melakukan pembunuhan ini atas nama Islam dan Rasulullah dan Allah SWT?”

Anda menonton video Cikeusik?

Saya tidak berani. Sangat sadis sekali. Apa Islam seperti ini? Tapi (tahu) dari berita dan cerita, dan saya berjumpa dengan yang jadi korban dan saksi.

Apa yang Anda lakukan saat peristiwa itu terjadi?

Pada saat kejadian itu, saya tidak tidur tiga hari. Mencari tempat untuk mengungsikan (jemaah). Kita meminta tolong ke LBH, menolong dan mengeluarkan yang terkurung. Bagaimana memberi konseling untuk anak-anak yang melihat. Ini sangat traumatik. Kami pindahkan terutama ibu dan anak-anak. Sekarang kami kosongkan.

Anda menjadi amir sudah berapa periode?

Empat kali saya terpilih sejak 2001. Satu periode tiga tahun. Kita ini ada majelis syura tingkat nasional. Musyawarah nasionalnya setiap tahun, tapi untuk pemilihan ketuanya tiga tahun sekali. Setelah dipilih, dikirim ke pusat disetujui atau tidak.

PRESS RELEASE DPW JAMAAH AHMADIYAH JAWA TENGAH

PRESS RELEASE

DPW JAMAAH AHMADIYAH JAWA TENGAH



Tanggapan Atas Berita Suara Merdeka, Jumat (11/03), hal. 2 berjudul :

Habib Lutfi Ajak Ahmadiyah Kembali ke Ajaran Yang Benar



Terkait berita harian Suara Merdeka, Jumat (11/03), hal. 2, berjudul, Habib Lutfi Ajak Ahmadiyah Kembali ke Ajaran Yang Benar, kami sampaikan tanggapan sbb :



1. Jemaah Ahmadiyah Jateng mengucapkan Al-hamdulillah, terimakasih dan Jazakumullah ahsanal Jaza, kepada Habib Lutfi yang telah berkenan mengajak kami warga Ahmadiyah kembali kepada ajaran syariat Islam yang benar. Dibanding dengan fatwa MUI yang menyatakan Ahmadiyah bukan Islam, sesat dan menyesatkan, kemudian mendesak pemerintah agar membuabrkan Ahmadiyah, ajakan Habib Lutfi, sungguh sejuk sekali, dan perlu di apresiasi.
2. Namun, hemat kami, ajakan Habib Lutfi salah alamat jika ditujukan kepada warga Ahmadiyah yang tergabung dalam Jamaah Ahmadiyah Indonesia.
3. Warga Ahmadiyah yang tergabung dalam Jamaah Ahmadiyah Indonesia, sejak semula meyakini Islam sebagai agama, berpedoman kepada Al-Quran dan Sunnah Rasulullah SAW., berakidah sesuai dengan akidah enam rukun iman, dan beribadah sesuai dengan lima rukun Islam. Syahadat Ahmadiyah, dua kalimah, yaitu : Asyhadu al-laa ilaaha ilallaahu, wa asyhadu anna Muhammadar-rasulullaahu. Tidak ada yang namanya Ajaran Ahmadiyah, seluruh amalan dari Jemaah Ahmadiyah adalah Ajaran Islam berdasarkan Al-Quran dan Sunnah Rasulullah SAW,.
4. Sejak Ahmadiyah berdiri (23 Maret 1889), di Indonesia sejak 1925, hingga saat ini, setiap orang yang hendak menyatakan bergabung kedalam Jemaah Ahmadiyah, diwajibkan untuk menyatakan ikrar bai’at – berjanji bersumpah setia, sbb : 1) Di masa yang akan datang hingga masuk ke dalam kubur senantiasa akan menjauhi syirik, 2) Senantiasa akan mengindarkan diri dari segala corak bohong, zina, pandangan birahi terhadap bukan muhrim, perbuatan fasiq, kejahatan, aniaya, khianat, mengadakan huru-hara, dan memberontak serta tidak akan dikalahkan oleh hawa nafsunya meskipun bagaimana juga dorongan terhadapnya, 3) Senantiasa akan mendirikan shalat lima waktu semata-mata karena mengikuti perintah Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, dan dengan sekuat tenaga akan senantiasa menegakkan shalat tahajjud, dan mengirim salawat kepada Junjungannya Yang Mulia Rasulullah Muhammad S.A.W.,…….4) Benar-benar akan menjunjung tinggi perintah Al-Qur’an Suci di atas dirinya. Firman Allah dan Sabda Rasul-Nya itu akan menjadi pedoman baginya dalam tiap langkahnya.......5) Akan menghargai agama, kehormatan agama dan mencinatai Islam lebih daripada jiwanya, hartanya, anak-anaknya, dan dari segala yang dicintainya………dll
5. Jika ukuran Islam yang benar adalah meyakini Nabi Muhammad S.A.W., sebagai Khaataman-Nabiyyin - nabi terakhir, tidak ada lagi nabi sesudahnya, Jemaah Ahmadiyah sejak Ahmadiyah berdiri (23 Maret 1889), di Indonesia sejak 1925, hingga saat ini, dan seterusnya, meyakini dengan teguh, Rasulullah Muhammad S.A.W., adalah Khaataman-Nabiyyin - nabi terakhir, tidak ada lagi nabi sesudahnya. Pendiri Ahmadiyah berkata : “Sebab itu, diatas kenabian ini habislah semua kenabian. Memang sudah sepantasnya demikian, sebab sesuatu yang ada permulaannya tentu ada pula kesudahannya”.[1]
6. Tidak hanya itu, Ahmadiyah yang tergabung dalam Jamaah Ahmadiyah Indonesia meyakini dengan teguh, Islam adalah agama terakhir, dan Al-Quran adalah Kitab Suci terakhir. Pendiri Ahmadiyah, berkata : “Tidak ada kitab kami selain Al - Qur’an Syarif dan tidak ada Rasul kami kecuali MuhammadMustafashallallaahu ‘alaihi wasallam. Tidak ada agama kami kecuali Islam dan kita mengimani, Nabi kita, Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam. adalah Khaatamul Anbiya’, dan Al - Qur’an Syarif adalah Khaatamul Kutub.[2]
7. Ahmadiyah yang tergabung dalam Jamaah Ahmadiyah Indonesia bahkan meyakini, karena Rasulullah Muhammad S.A.W., adalah Khaataman-Nabiyyin, maka sesudah beliau S.AW., tidak boleh lagi datang nabi, baik nabi lama – seperti nabi Isa as, yang diyakini umat Islam akan datang di akhir zaman, maupun nabi baru – yang bawa agama baru, kitab suci baru, dan kalimah syahadat baru Nabi Isa as, yang dijanjikan akan datang oleh Rasulullah S.A.W., dalam pemahaman dan keyakinan Ahmadiyah, bukan nabi Isa as yang dahulu – karena nabi Isa as yang dahulu sudah wafat dalam usia 120 tahun[3], melainkan orang lain dari kalangan umat Islam yang di-misal-kan seperti Isa as.[4], atau yang memiliki sepirit Isa as, sehingga ia bergelar Isa as.[5], dan juga menjadi zhillun-Nabi Muhammad S.A.W., - bayangan Nabi Muhammad S.A.W., sehingga kedatangannya tidak merusak “segel” khaataman-nabiyyin Nabi Muhammad S.A.W. ‘Alim-‘ulama juga berpendapat, Nabi Isa as. yang dijanjikan akan datang oleh Rasulullah S.A.W., tidak menghalangi Nabi Nabi Muhammad SAW., sebagai yang terakhir, sebab dia datang hanya akan melaksanakan syariat Nabi Muhammad S.A.W.[6]
8. Dalam kepercayaan Ahmadiyah, meyakini ada lagi nabi baru, yang membawa agama baru, kitab suci baru, dan kalimah syahadat baru, adalah suatu kekufuran dan kesesatan, dan menyimpang dari ajaran Islam.
9. Mirza Ghulam Ahmad, Pendiri Ahmadiyah, dalam keyakinan Ahmadiyah yang tergabung dalam Jamaah Ahmadiyah Indonesia, dalam istilah umum umat Islam dikenal sebagi : al-‘ulama al-warasatul anbiya – ‘ulama pewaris Nabi Muhammad S.A.W., dalam Jemaah Ahmadiyah dikenal sebagai zhillun-nabi Muhammad S.A.W., – bayangan Nabi Muhammad S.A.W, Dalam bahasa Hadits, ia adalah Mujaddid - yang dijanjikan akan bangkit pada setiap permulaan abad [7], atau Al-Masih al-Mau’d, dan Al-Mahdi al-Mauud – Al-Masih dan Al-Mahdi yang Dijanjikan Kedatangannya oleh Rasulullah S.A.W.[8] Keyakinan Ahmadiyah tentang kedatangan Nabi Isa as, di akhir zaman sama dengan keyakinan para ‘ulama dan umat Isam pada umumnya.[9]
10. Sejak tahun 2005, Ahmadiyah di Indonesia ada dua versi. Ada Ahmadiyah versi Ahmadiyah, dan ada Ahmadiyah versi MUI.
11. Ahmadiyah versi Ahmadiyah, meyakini Rasululah SAW., sebagai Khaataman-Nabiyyin (nabi terakhir, penutup segala nabi), dan sepenuhnya berpedoman kepada Al-Quran dan Sunnah Rasulullah SAW,.
12. Sedangkan Ahmadiyah versi MUI, tidak meyakini Rasululah SAW., sebagai Khaataman-Nabiyyin (nabi terakhir, penutup segala nabi), dan meyakini ada lagi nabi yang ke-26, bernama Mirza Ghulam Ahmad, dengan Tadzkirah sebagai kitab sucinya.
13. Ahmadiyah versi Ahmadiyah sangat aktif berdakwah ke seluruh penjuru dunia, mempromosikan Islam sebagai agama yang benar, sempurna dan lengkap, Islam sebagai agama yang toleran dan damai, Islam yang menghargai dan menghormati semua nabi, dan mempropagandakan Al-Quran sebagai Kitab Suci, Kitabullah dan Kalamullah. Untuk keperluan dakwah pula, Ahmadiyah versi Ahmadiyah telah berhasil menterjemahkan Al-Quran ke dalam 100 bahasa besar dunia.
14. Sedangkan Ahmadiyah versi MUI, aktif berdakwah ke seluruh pelosok tanah air, mempropagandakan ada lagi nabi yang ke-26, bernama Mirza Ghulam Ahmad, dan mempropagandakan Tadzkirah sebagai kitab suci Ahmadiyah. Ahmadiyah versi MUI dipropagandakan antara lain oleh : KH. Ma’ruf Amin, KH. Amidhan, KH Umar Sihab, Habib Riziq, Muhammad Al-Khaththat, Amin Jamaluddin, dll.
15. Dalam pandangan Ahmadiyah versi Ahmadiyah (Ahmadiyah yang tergabung dalam Jamaah Ahmadiyah Indonesia), Ahmadiyah versi MUI memang sesat dan menyesatkan, dan layak diajak kemabali kepada ajaran Islam yang benar.
16. Ajakan Habib Lutfi, agar Ahmadiyah kembali kepada ajaran syariat Islam yang benar, sangat tepat jika disampaikan kepada warga Ahmadiyah versi MUI, Ahmadiyah yang dipropagandakan oleh : KH. Ma’ruf Amin, KH. Amidhan, KH Umar Sihab, Habib Riziq, Muhammad Al-Khaththat, Amin Jamaluddin, dll.
17. Demikian Press Release yang kami sampaikan. Atas perhatian Suara Merdeka dihaturkan terimakasih dan Jazakumullah ahsanal Jaza!



Semarang, 12 Maret 2011

DPW Ahmadiyah Jawa Tengah

Ttd

(H.M. Arief Syafi’ie)

Ketua

Senin, 14 Maret 2011

Police, Military ‘Intimidate’ Bogor Ahmadis to Convert

Police and military officers in West Java have coerced Ahmadiyah members into renounce their faith through bribery and intimidation, two groups said on Sunday.

Firdaus Mubarik, a spokesman for the Indonesia Ahmadiyah Congregation (JAI), said he had received reports from Ahmadis across West Java that police and military officers had been visiting their homes, asking them to sign sworn statements renouncing their faith.

The allegation comes on the same day that a group of 40 demonstrators broke into an Ahmadiyah mosque in Cipeuyeum, West Java, and burned the group’s religious books.

“Police were there. The mob did not destroy the mosque or clash with the Ahmadis,” said Asep Isamudin, head of the JAI in Cianjur district.

“They burned the books and the Korans because they believe Ahmadiyah is in violation of the joint ministerial decree and the recently issued gubernatorial decree banning the activities of the sect in West Java,” he said.

Firdaus said at least seven Ahmadis previously residing in the village of Leuwisadeng, located some six kilometers from Ciaruteun Udik, the scene of an attack on Friday that damaged houses owned by Ahmadis, had relocated to Bogor.

“They were intimidated into signing a statement,” he said. “They feared for their lives.

“The village administration head also informed them that if they insisted on remaining Ahmadis, it would be difficult for them to get their ID cards processed, and to get their children an education.

“The Ahmadi villagers were also offered up to Rp 150,000 [$14)] to renounce their beliefs.”

Safwan Adnan, head of the West Java branch of the JAI, said that similar tactics were occurring in Majalengka and Tasikmalaya, both in the province.

He said that on Friday, 40 police and military officers from Bandung, accompanied by members of the West Java branch of the Indonesian Council of Ulema (MUI), arrived at Ahmadiyah’s Mubarak Mosque in Bandung.

“They said they wanted to lead the Friday prayers,” he said. The Ahmadis, he added, rebuked the group.

“They were showing off, trying to prove that they had managed to convert followers of Ahmadiyah,” he said.

Muhammad Isnur, from the Jakarta Legal Aid Foundation, said that Ahmadis in Ciareteun and Leuwisadeng were rounded up on Saturday.

“They were briefed by the Bogor Police, officers from the regional military command and the village’s ulema, among others, on the contents of the new gubernatorial decree,” he said.

Even though the decree itself is unconstitutional, he said, the Ahmadis were advised to obey.

“The Ahmadis can move out if they don’t feel safe,” he said. “The preaching at mosques has gotten worse — there are calls to kill, attack and hang the Ahmadis.”

Bogor Police Chief Dadang Rahardja said “the good news” is that seven of the Ahmadi villagers who were attacked on Friday “will declare themselves Muslim, and they decided this by their own will.”

He denied that police officers had intimidated Ahmadis. “It was only socialization. We will not force them because faith is about human rights.”

Source: The Jakarta Globe

Selasa, 08 Maret 2011

Banning Ahmadiyah not a solution

Banning Ahmadiyah not a solution: Yenny
The Jakarta Post, Jakarta

Wahid Institute executive director Yenny Wahid said Tuesday that East Java Governor Soekarwo’s decision to ban the Ahmadiyah sect in her province was not an effective solution as plenty of other factors would need settling after that.

“After being dissolved and banned, what next? Oust Ahmadiyah followers from East Java? Then where will they go?” Yenny said after a discussion at the Wahid Institute in Jakarta.

She said there must be a more realistic solution in responding to the Ahmadiyah issue.

“Will they have to ask for asylum overseas?” Yenny added as quoted by Antara.

On Monday, the East Java governor issued a decree in Surabaya that prohibited all Ahmadis in Indonesia’s second most populous province from any kind of activities related to Ahmadiyah.

Yenny considered the ban that violates the Constitution, which guarantees all citizens can embrace their own beliefs without intervention from the government, as unacceptable.

Whatever Yenny’s objections are, however, calls for banning Ahmadiyah have continuously been echoed by various elements of Muslim society members.

In Jakarta, Islam Defenders Front (FPI) activists staged a rally Tuesday to demand the banning of Ahmadiyah teachings in Indonesia.

Earlier, a number of Islamic organizations and the Indonesian Ulema Council (MUI) in Banten had asked the government to ban Ahmadiyah in the province.

In Makassar, South Sulawesi, the Islam Congregation Forum, which groups 18 Islam organizations, urged the local administration to issue a decree on the Ahmadiyah banning.

The demand was aired in a mass rally in front of the provincial legislative council’s building. They claimed that the dissolution of Ahmadiyah was not negotiable as the sect was considered to have tainted the religion of Islam and had sparked unending conflicts.

thepersecution.org

Jumat, 11 Juni 2010

The Ahmadiyyas: Pakistan’s silent sufferers


The Ahmadis who were killed in a terrorist attack on two Lahore mosques last week were innocent people and by not raising our voice for their rights, we as a nation are collectively guilty of their murder, writes Mehmal Sarfraz from Lahore, in the first of her despatches from across the border

The people of Pakistan witnessed two simultaneous terror attacks in Lahore on May 28, 2010. Thousands of worshippers had gathered for Friday prayers at two Ahmadi mosques, ‘Baitul Noor’ in Model Town and ‘Darul Zikr’ in Garhi Shahu, when they were attacked by the terrorists donning suicide vests, wielding Kalashnikovs and hand grenades. More than 90 people lost their lives while hundreds more were injured. The most horrendous aspect of these twin attacks was that they both targeted the Ahmadiyya community, a religious minority that has suffered in silence for far too long.

The Punjab wing of the Tehrik-e-Taliban Pakistan claimed responsibility for the Friday attacks. In a text message sent to journalists, the terrorists warned that if the Ahmadis do not leave Pakistan, they should be ready to face death at the hands of the lovers of Prophet Mohammed (Peace Be Upon Him). It was a grim reminder of how the religious bigots have succeeded in promoting sectarianism and also pointed towards the vulnerability of the Ahmadiyya community in Pakistan.

A couple of months ago, a friend wrote something so strong on Twitter that it immediately caught my attention. She tweeted, ‘Three Ahmadis killed in Faisalabad on Thursday (April 1, 2010). They were ambushed by a car with multiple shooters and were shot at (presumably with semi-automatic or automatic weapons) more than 80 times. They died before reaching the hospital. Is this your Islamic Republic of Pakistan? I curse thee, I curse thee, I curse thee!’ Chilling words indeed! And coming from someone who never loses her cool, it made me realise what a mockery we have made of the fundamental rights of citizens in this ‘land of the pure’.

The Ahmadis hold different views on the finality of prophethood from that of other Muslim sects. Muslims commonly believe that Prophet Mohammed (PBUH) is the last prophet of Islam while the Ahmadis believe that Prophet Mohammed (PBUH) was the last of the law-giving prophets in the tradition of Moses and Jesus. They believe that Mirza Ghulam Ahmad (1835-1908) was an ‘ummati’ prophet (a subordinate prophet) and that he was the promised messiah and Imam Mahdi rolled into one. The Lahori Ahmadis believe that Mirza Ghulam Ahmad was just a religious reformer and not a prophet. Whatever the beliefs of the Ahmadis, the real issue lies with the clerics in Pakistan who have always had a problem with the Ahmadis for giving reverence to Mirza Ghulam Ahmad.

To understand the plight of the Ahmadis, we have to revisit the 1950s. Some Pakistani politicians and most religious parties took to the streets in 1953 leading to the anti-Ahmadi riots. They demanded that the Ahmadis be declared non-Muslims and the then foreign minister of Pakistan, Chaudhry Zafrullah Khan, be removed from office since he was an Ahmadi and the same should be done with other Ahmadis who held any key positions in the government. The government did not give in to these demands.

But all this changed in 1974 when Prime Minister Zulfikar Ali Bhutto, a secular and progressive man otherwise, declared the Ahmadiyya community non-Muslims. In an attempt to appease the Islamists, ZA Bhutto crucified secularism at the altar of political expediency by adding the Second Amendment to the Pakistani Constitution. Pakistan’s only Nobel Laureate, Dr Abdus Salam, an Ahmadi, left the country for London in protest.

Bhutto’s folly opened the door for the right-wingers to further persecute a peace-loving community. General Ziaul Haq, a military dictator who ruled Pakistan for 11 years and was one of the most bigoted rulers in the country’s history, promulgated Ordinance XX in 1984, which was specific to the Ahmadiyya community. This anti-Ahmadi ordinance prohibited them from ‘posing’ as Muslims, calling their places of worship ‘mosques’ or their call to prayer ‘azan’ like the Muslims do.

The Blasphemy Law together with this ordinance made it an actual curse for the Ahmadis to live in Pakistan. Many of them migrated elsewhere in the 1980s. Pakistan is the only Muslim country that has declared the Ahmadiyya community non-Muslims and where the identity card forms and passport forms make a clear distinction between Muslims and Ahmadis. Many Ahmadis have been harassed and killed in the name of Islam by fanatics over the years; they have also been targeted by the media. Famous anchorpersons and televangelists have given sermons against the Ahmadiyya community.

After the May 28 attacks, an Ahmadi leader, Mirza Khurshid Ahmad, said, “We are also the citizens of Pakistan. If the government wanted to protect us, it would have stopped the hateful propaganda that goes on against us every single day. Anti-Ahmadi posters and banners are published and put out in open view, conferences are held, statements issued that we should leave Pakistan, we are wajib-ul-qatl (worthy of death), we should either convert to Islam or we would be lined up and shot dead? This goes on right under the nose of the government. Incitement to violence is a punishable offence under the law of the land but nobody takes notice of these things.”

It was painful to see the terrorists laying siege to the two Ahmadi mosques for hours and spilling so much blood, but it was even more shameful to be politically correct and calling or writing ‘places of worship’ instead of mosques. It was appalling to see that no politician had the courage to call the slain Ahmadis ‘shaheed‘ (martyrs) as is usually done after other terror attacks and that none of them went to the funerals of the dead either. Intolerance has overtaken our sensibilities. The Ahmadis who died on Friday were innocent people and by not raising our voice for their rights, we as a nation are collectively guilty of their murder. I hang my head in shame.

Source: ahmadiyyatimes.wordpress.com

Dua Masjid Ahmadiyah Diserang, Lebih 70 Tewas

Tehrek-e-Taliban Mengaku Bertanggung Jawab

Lahore, Pelita
Sejumlah pria bersenjata menyerang dua masjid milik kelompok Ahmadiyah, di Pakistan, Jumat (28/5), menyandera sejumlah jamaah, melemparkan granat, dan terlibat baku-tembak dengan aparat kepolisian. Insiden itu menewaskan lebih dari 70 orang dan puluhan lainnya luka-luka dalam serangan yang dilakukan selepas shalat Jumat itu.
Baku-tembak dan ledakan terdengar dari kedua masjid itu, salah satunya masjid terletak di dekat Model Town yang pada Maret lalu mengalami serangan bom bunuh diri. Masjid kedua yang mengalami serangan berada di kawasan padat penduduk Garhi Shahu.
Tidak ada laporan yang menyebutkan ada warga Indonesia yang menjadi korban atas peristiwa ini.
Kedua masjid tersebut milik kelompok Ahmadiyah yang berhaluan Qadiyani yang hingga saat ini masih memiliki 4 juta pengikut di seluruh Pakistan. Mereka seringkali menjadi target kekerasan kelompok mayoritas di Republik Islam itu.
Menurut laporan kepolisian, seorang pelaku teror tewas dan dua orang anggota kepolisian luka-luka, tulis koran yang berbasis di Lahore, The Nation. Kelompok militan Tehrek-e-Taliban mengaku bertanggung jawab atas insiden itu.
Teroris kembali menyerang masjid. Mereka meledakkan granat dan membakarnya. Mereka juga menculik sejumlah jamaah di masjid yang terbakar, kata pejabat keamanan lokal yang sedang memantau situasi, Mushar Ahmed kepada AFP .
Sejumlah televisi juga menayangkan baku-tembak tersebut. Sejumlah kendaraan roda empat dan roda dua tampak terbakar serta seorang korban sipil yang bercucuran darah. Sejumlah saksi, seperti yang dikutip Harian Dawn Pakistan, mengungkapkan kejadian itu tepat setelah para jamaah menyelesaikan shalat Jumat.
Kelompok yang didirikan akhir abad ke-19 itu telah dinyatakan oleh konstitusi Pakistan pada 1970 sebagai aliran non- Muslim. Kelompok yang didirikan Ghulam Ahmad kelahiran 1838 ini memiliki kepercayaan unik, termasuk mengakui kenabian Ghulam Ahmad dan Nabi Isa meninggal pada umur 120 di Srinagar, Kashmir.
Kota Lahore yang berbatasan dengan India seringkali menjadi korban operasi Taliban dan Al-Qaeda. Dalam tiga tahun terakhir, sedikitnya terdapat 3.300 nyawa melayang akibat serangan teror.
Kekerasan antarsekte di Pakistan yang seringkali dipicu perseteruan antara Sunni dan Syiah telah memakan 4.000 korban dalam 10 tahun terakhir.
Pada Oktober 2005, delapan orang tewas dan mencederai 14 lainnya akibat serangan orang bertopeng yang melengkapi diri dengan senjata jenis AK di sebuah masjid Ahmadiyah di Kota Mandi Bahauddin, sekitar 100 Km dari Islamabad.
Insiden Jumat kemarin merupakan serangan terbesar setelah pada Maret lalu di Lahore, seorang pembom bunuh diri menyerang sebuah masjid di kawasan militer yang menewaskan 45 orang.
Serangan tersebut terjadi pada hari Jumat menjelang pelaksanaan shalat Jumat. Sedikitnya delapan serangan mendera Kota Lahore pada tahun lalu yang menewaskan 170 orang. Kota Lahore dikenal sebagai kota bersejarah, tempat bermukimnya sejumlah pembesar politisi, jenderal, dan aparat intelijen.

Sumber: pelita.or.id

Senin, 12 April 2010

Indonesia: ‘Infidel’ Not to be Said Lightly, NU Cleric Says


…Prophet [Muhammad] would never use violence. We talk to people. The Prophet would never physically attack people because they were not Muslims.” Masyhuri Na’im, Chairman, Nahdlatul Ulama legal advisory board.
Senior cleric and deputy chairman of Nahdlatul Ulama’s legal advisory board Masyhuri Na’im said on Friday that Muslims should not use the term kafir , or infidel, lightly.


The nation’s largest Islamic group has discussed the matter at its annual congress in Makassar this week because it had received numerous reports of Muslims labeling those both inside and outside the faith as infidels as a means of attack, he said.

“I have heard that people who do not wear a kopiah [Muslim skull cap] are called infidels. Muslims not growing their beards are called infidels. People are being declared kafirs and then attacked,” Masyhuri said, adding that NU was greatly saddened to hear that members of the Ahmadiyah, a minority Muslim sect, had been assaulted many times and seen their mosques destroyed by those who called them infidels.

“Have you ever seen any NU followers attacking Ahmadiyah followers? No. We would never do that because the Prophet [Muhammad] would never use violence. We talk to people. The Prophet would never physically attack people because they were not Muslims,” Masyhuri said, adding that there were several criteria to be met before someone could be called an infidel.

“God should be considered as the creator of the universe. Only God can punish us. To call someone an infidel who is actually a Muslim over small differences is forbidden by the Prophet. The Prophet has clearly instructed us that whosoever calls a Muslim an infidel, himself is the infidel,” Masyhuri said.

He added that those who were misguided needed to be brought back toward the correct path of Islam.

Taken from: http://ahmadiyyatimes.wordpress.com

Template by:
Free Blog Templates