Selasa, 15 Maret 2011

ABDUL BASIT, AMIR NASIONAL JEMAAT AHMADIYAH INDONESIA: KAMI TIDAK PERNAH DIAJAK DIALOG

Kekerasan atas nama agama yang menimpa warga Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Cikeusik, Banten, 6 Februari lalu, berbuntut lahirnya peraturan daerah yang diskriminatif. Peraturan itu muncul dari Jawa Timur dan Jawa Barat. Kedua gubernur itu sama-sama menerbitkan peraturan yang melarang aktivitas Ahmadiyah.

Ketua Umum Pengurus Besar, atau kerap disebut Amir Nasional JAI, Abdul Basit, heran dengan munculnya peraturan daerah yang dinilai tidak jelas itu. “Apa yang dimaksud aktivitas?” katanya saat ditemui di Kantor Pusat JAI di Kompleks Kampus Mubarok di Kemang, Parung, Bogor, Jawa Barat, Rabu lalu. Dia menampik penilaian bahwa aktivitas Ahmadiyah telah mengganggu ketertiban. “Aktivitas kami, ya, hanya salat di masjid,” ujarnya.

Basit, yang sejak lahir menganut paham Ahmadiyah, telah empat periode memimpin organisasi keagamaan yang berpusat di London, Inggris, ini. Basit menjadi Amir Nasional sejak 2002. Warga Bandung, Jawa Barat, ini menempa ilmu agama sejak kuliah di Rabwah, Pakistan. Basit meneruskan peran ayahnya, yang juga mubalig di Ahmadiyah. Namun karier Basit lebih moncer ketimbang sang ayah. Bapak lima anak ini pernah mengemban tugas dakwah di Thailand, Malaysia, Singapura, dan Inggris.

Kini Basit dan keluarganya tinggal di Kantor Pusat Jemaat Ahmadiyah Indonesia di kompleks seluas 3,5 hektare itu. “Sebagian besar pengurus besar tinggal di kompleks ini,” katanya. Dari kawasan yang sepi, indah, dan asri ini Basit memimpin jemaahnya. Salah satunya, menyelesaikan persoalan yang membelit jemaah belakangan ini.

Di ruang guest house, Basit ditemani mubalig lokal Rakeeman R.A.M. Jumaan, mubalig lokal Naib atau Wakil Amir Mirajudin Sahid, serta anggota staf redaksi buletin Darsus, Sukma Fadhal Ahmad, menuturkan perasaan dan sikap Jemaat kepada Akbar Tri Kurniawan dan fotografer Yosep Arkian dari Tempo. Suguhan yang menghangatkan pagi itu berupa teh tarik ala Pakistan dan beberapa kudapan. Obrolan berakhir di meja makan untuk santap siang dengan menu kare India, irisan buncis dan wortel, serta sambal.

Belakangan ini beberapa pemerintah daerah menerbitkan peraturan daerah melarang aktivitas Ahmadiyah. Bagaimana tanggapan Jemaat Ahmadiyah Indonesia?

Kami mendapat penjelasan dari kantornya Bang Buyung (pengacara senior Adnan Buyung Nasution, yang mengonsep Surat Keputusan Bersama 3 Menteri tentang Ahmadiyah) bahwa tidak ada pembekuan. Okelah itu ranah hukum. Ketika (SKB) ini diambil sebagai bahan rujukan untuk melarang Ahmadiyah, sudah jauh menyimpang. Seperti (peraturan daerah) yang di Jawa Timur dan lainnya, kurang-lebih sama isinya: “Dilarang beraktivitas”. Itu pun tidak jelas aktivitas itu. Seingat kami, warga kami ini, di masjid, ya, ibadah. Salat lima waktu. Pas Jumat, ya, jumatan, tadarus kalau ada. Apa yang mesti dilarang? Saya heran. Padahal jelas perintahnya “Hai manusia, beribadahlah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu.” Disuruh beribadah. Kenapa melarang itu, apa yang tidak boleh?

Ada tanggapan lain?

Kami ini masih berbadan hukum. Sudah lama (ada). Tidak ada pembubaran dan pelarangan. Lalu, atas dasar apa kami dilarang? Makanya belum jelas, banyak pernyataan dari Menteri Dalam Negeri memicu protes. Bukan dari kita, tapi pakar hukum. Yang tidak boleh itu apa? Kalau tidak salah, Mendagri bilang ibadah tidak dilarang. Tapi di berbagai tempat, di daerah kecil tidak boleh. Jadi, yang begini-begini efeknya, susahnya nanti sesuka-sukanya. Ada aparat desa, aparat kecamatan melarang semua. Rujukannya ke situ, karena di situ dituliskan segala aktivitas.

Aktivitas apa yang tidak boleh?

Makanya kita harus merujuk SKB yang dibuat bareng. Kita lihat di lapangan ini banyak orang tidak tahu SKB. Pemerintah tidak paham, jadi begitulah. Kita selalu sosialisasikan bahwa itu (SKB) harus cermat dibaca. Sehingga bisa menarik kesimpulan mana yang boleh dan tidak boleh. Kalau hanya aktivitas saja, kan bisa disalahartikan. Yang namanya ibadah kan bukan aktivitas.

Organisasi harus bersosial, tapi kami tidak boleh beraktivitas. Ini rancu. Ada satu larangan dalam surat di Jawa Barat, kami tidak boleh memakai atribut JAI. Di Jawa Timur juga begitu. Tapi kami ini ikut peraturan berorganisasi oleh negara bahwa organisasi yang berbadan hukum harus memasang papan nama organisasi massa. Bahkan kalau kantor pusat ukurannya berapa, kalau di cabang berapa, disebutkan, begitu aturannya. Ketika ada larangan itu, mereka sendiri yang mau menurunkan, silakan saja!

Waktu di DPR, Anda dan anggota Dewan bersepakat lebih banyak menggelar dialog di pusat dan daerah. Apakah dialog juga dilakukan di tingkat bawah?

Selama ini kita hampir tidak pernah diajak (dialog), di mana-mana. Jadi seolah-olah pemutusan sepihak. Jadi begini, ini kan ada dua. Satu ranah hukum dan ranah teori. Di daerah-daerah, kami hampir tidak pernah diajak dialog. Tampaknya mereka ini di sana-sini memutuskan begitu. Ya, kita mau apa dengan yang begini. Kemarin dengar pendapat (dengan DPR) kami tidak bisa menjelaskan keseluruhan. Makanya, salah satu opsi yang kita ajukan, ajaklah kami berdialog. Karena, ketika kita mempunyai tindakan yang sama, hukum yang sama, Al-Quran dan Sunnah, kalau ada perbedaan lebih senang kita berdialog. Nanti akan ketemu titik temunya di mana, akan lebih mengerucut dan lebih jelas. Tapi kalau sudah diketok, tidak usah (dialog), susah juga kita. Kalau begitu, bangsa ini akan menjadi bangsa yang jumud.

Bagaimana Ahmadiyah di negara tetangga?

Kalau di Malaysia, kami tidak dianggap orang Islam. Tapi di sana hukum berjalan tegas. Ya, sudahlah. Kami tidak pernah dilarang, apalagi untuk beribadah, mengadakan pertemuan tahunan. Tidak pernah seperti itu. Selama kita beraktivitas di tempat sendiri, kadang kita sewa untuk berkumpul. Di sana polisi tegas. Jadi, kalau ada apa-apa, misalnya ada yang mau protes merusuhi, polisi langsung bertindak. Saya lama di sana. Kalau kami mengadakan acara begini-begini, oke. Lapor biasa saja, acaranya apa, oke, jalan. Tidak ada yang mau mengusik kita, merusak. Mereka mengatakan tegas, “Polisi itu urusannya keamanan. Urusan keyakinan bukan urusan kami (polisi).” Ini kan masalah keyakinan, tidak bisa digunakan hukum positif. Dipaksakan tidak bisa. Urusan negara adalah urusan ketertiban. Urusan keimanan, nanti hisabnya dengan Allah SWT.

Kami ini tersebar di 180 negara, di Eropa, Afrika. Kami tidak akan bertentangan di Barat dan di mana-mana. Selama mereka warga negara dari satu negara, kami wajib taat pada hukum negara.

Bagaimana JAI memproses badan hukum?

Lancar saja. Tidak ada apa-apa, akhir-akhir ini saja setelah reformasi. Kami memproses badan hukum tahun 1953. Ada dokumennya.

Daerah mana yang luwes menerima keberadaan Ahmadiyah?

Yogyakarta, Jawa Tengah, itu sangat terbuka, sudah puluhan tahun bergaul dengan masyarakat. Di daerah-daerah seperti Papua, Sulawesi Utara, daerah-daerah yang masyarakatnya majemuk. Rata-rata yang keras itu di daerah Jawa Barat.

Bagaimana hubungan Jemaat dengan warga sekitar?

Biasa saja. Seperti di Manis Lor (Kuningan), lurahnya saja dari kita. Di perbatasan Garut dan Sukabumi juga banyak warga Ahmadiyah. Mereka menyatu ikut membangun desa. Ada yang jadi guru di berbagi bidang, macam-macam. Di Wonosobo biasa-biasa saja. Yang merusuhi tanah-tanah kita, ya, orang-orang dari luar daerah itu. Kita kalau membangun apa-apa, ya, mendahulukan orang di sekitar untuk bekerja.

[Naib Amir Mirajudin Sahid menambahkan: Di Banjarnegara, lurah dari Ahmadiyah diangkat sampai empat kali. Awalnya memang dihujat karena Ahmadiyah.]

Bagaimana menyikapi peraturan daerah itu?

Saya hormati itu semua. Saya selalu menganjurkan kepada warga Ahmadiyah, coba pelajari dulu itu (peraturan daerah), terus dari situ teruskan seperti ibadah. Sikapi dengan bijaksana dan teruskan aktivitas seperti biasa, karena kami selama ini tidak pernah melanggar undang-undang. Aktivitas kami baik secara institusi sekalipun, dari dulu. Dan Anda bisa lihat track record kami di berbagai negara. Kami tidak pernah ada sesuatu yang melanggar hukum. Makanya, di awal saya mengatakan: coba saja aktivitas kami ini apa selain tarbiyah (belajar) itu saja. Karena itu, apa pun larangannya, kita terus jalan saja. Masak, ketika di jalan kami tidak boleh ibadah.

Apa yang dikhawatirkan dari peraturan daerah itu?

Aturan ini sering disalahgunakan. Makanya diprotes oleh pakar hukum. Dengan begini, akan seenaknya main hakim sendiri, ini sekte atau apa. Ada kejadian di beberapa tempat. Ada satu tempat di Palu, di sana ada beberapa keluarga Ahmadiyah, mendirikan musala, ukurannya kecil. Tiap hari ya biasa salat lima waktu, belajar mengaji, anak-anak. Lalu datang aparat dari desa, melarang kami memakai musala, ibadah (diminta) di rumah saja. Kayak model-model seperti itu. Yang kami tangkap, seluruh aktivitas tidak boleh.

Apakah akan menguji secara hukum perda itu ke Mahkamah Konstitusi?

Kalau memungkinkan, kenapa tidak? Kan peraturan itu berkategori (hierarki), jadi bisa di-judicial review di Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung. Yang begini-begini kami usahakan. Dan ini kami limpahkan ke kuasa hukum, ada Lembaga Bantuan Hukum. Kami juga berkonsultasi dengan Adnan Buyung Nasution. Yang kami tuntut mungkin satu saja. Advokasi kami terus jalan. Jadi, tidak akan semua perda kami ajukan. Cukup satu saja, bisa Jawa Timur dan Jawa Barat, ini masih proses.

Tindak kekerasan sudah sering, bagaimana Anda menyiapkan mental keluarga?

Ya, saya yakin hukum masih ditegakkan. Soal keamanan dan ketertiban segera dikoordinasikan dengan aparat. Itu saja. Kan masih ada Allah SWT. Secara pribadi, kami tidak melanggar apa-apa. Jadi, apa yang harus kami takutkan?

Ada instruksi khusus kepada jemaah menghadapi situasi yang berkembang seperti ini?

Kami anjurkan untuk banyak berdoa, percaya kepada Allah, ancaman ini serahkan kepada aparat polisi atau tentara. Kalau kita tidak melapor, kita juga salah. Jangan mengambil hukum di tangan sendiri. Jadi, kalau dibilang bentrok, tidak ada bentrok. Kita yang diserang. Ini kan disorot dunia internasional.

Anda berusaha meraih simpati masyarakat internasional?

Tidak usah kami sebarkan, berita ini sudah menyebar. Kami tak perlu ngomong, orang lain tahu. Kan banyak yang protes ke kedutaan. Selain itu, ada juga lembaga Amnesty International. Kemudian banyak lagi non-governmental organization yang sangat concernterhadap hal-hal seperti ini. Jadi, kami tidak minta, mereka mencari sendiri.

Misi apa yang menjadi fokus dari Ahmadiyah pusat?

Kalau di sini, kami banyak resistensi. Untuk izin rumah sakit kesehatan, susahnya setengah mati. Kalau di negara Afrika, malah pemerintah yang menyediakan tanahnya. Rumah sakit dan sekolah kami banyak di Afrika. Di sana kami masuk pada 1930-an. Waktu itu Afrika sangat terbelakang. Karena hasilnya bagus, resistensi kepada kita kurang. Di sana kami juga menyediakan air minum, solar cell, itu kita buat. Tapi tidak cari untung. Di negara berkembang juga banyak permasalahan kesehatan mata, kami datangkan pakar-pakarnya.

Di Indonesia?

Kami belum sampai situ, karena masih (ada) resistensi. Paling cuma sekolah, itu pun beberapa diganggu. Kalau membuka, pasti bisa. Bukan untuk bangga, tapi kami ingin bisa berbuat sesuatu untuk bangsa ini. Kita mau mendirikan klinik di depan kompleks ini saja susahnya setengah mati.

Ketika mengadakan kegiatan sosial, JAI tidak menyebutkan nama?

Lihat kondisinya. Ada yang bergabung dengan Fatayat NU. Contohnya, ketika ada (kegiatan) Go Green, kami siapkan 125 ribu bibit di berbagai tempat, wakil pemerintah juga datang. Kami juga meminta setiap orang Ahmadiyah menanam itu.

Tidak usah jauh-jauh, kami itu organisasi terbesar yang melakukan donor mata di Indonesia. Sehingga Ketua Bank Mata Jakarta mengatakan, kalau tidak ada Ahmadiyah, ini sudah bangkrut. Donor darah juga termasuk nomor dua organisasi yang menyumbangkan. Tanya saja ke Palang Merah Indonesia Manis Lor, Kuningan. Berapa banyak yang rutin donor darah. Sampai-sampai, kalau orang kekurangan darah, datang ke Manis Lor, tidak usah bayar, kami siap. Rutin kami adakan donor darah dan mata.

Berapa yang sudah mendonorkan mata?

Kami targetkan 10 ribu donor, sekarang sekitar 6.000. Kapan pun kalau meninggal dan mendonorkan mata, silakan saja diambil. Ini anjuran, amal jariyah.

Bagaimana perjalanan Ahmadiyah selama ini?

Semua ada plus-minusnya. Tapi warga Ahmadiyah menilai zaman Sukarno oke. Keadaan masyarakatnya lebih santun. Saya sudah 60 tahun hidup di sini. Sejak kecil saya hidup di Garut. Teman akrab saya itu dari NU, Muhammadiyah, dan Persis. Tetapi tidak ada itu mencerca. Hampir semua datang ke rumah berdialog. Orang NU yang mendirikan IAIN Sunan Gunung Jati itu akrab dengan ayah saya. Jadi, hampir tidak ada mencerca. Mereka santun. Bisa berbeda tetapi tetap bermasyarakat. Kalau zaman Soeharto, tahu sendiri penegakan hukumnya, tidak usah cerita lagi, semua tahu (tertawa). Sekarang ini, ya, begini.

Cerita miris seperti apa lagi yang dialami Ahmadiyah sekarang?

Ada satu kejadian di Manis Lor, warga Ahmadiyah yang mau menikah ditolak oleh Kantor Urusan Agama. Di Lombok, ketika warga Ahmadiyah mengungsi, tidak diberi kartu tanda penduduk. Sampai anak-anaknya mau bersekolah, susah; mau ke puskesmas, susah. Jadi, alasannya macam-macam. Kualitas aparat di daerah ini tidak bisa membedakan dirinya sebagai aparat yang digaji dengan duit pajak. Warga Ahmadiyah juga bayar pajak. Jadi, bias pribadinya ikut, bukan sebagai pelayan. Itu kan hak sipil, warga Ahmadiyah adalah warga Republik Indonesia.

Yang dilarang menikah jadinya tetap menikah tanpa hukum negara?

Tidak. Kami cari KUA yang mau. Pergi ke kecamatan tetangga, minta nikah.

Kalau yang tidak diberi KTP?

Ya, bingung. Kalau kita mau diusir, ya, pasti pemerintah bakal repot dan ribut sendiri.

Apa kegiatan Anda?

Kalau pagi-pagi, ya, saya cek surat, e-mail, lalu membalasnya. Kalau keluar, ya, paling kunjungan ke daerah. Saya sudah sebulan lebih tidak keluar karena situasi seperti ini. Sekali kunjungan bisa seminggu. Banyak daerah yang perlu dikunjungi. Kami selalu berhubungan dengan Khalifah di London. Kalau tidak pagi, ya, sore. Kantor pusatnya itu mengikuti Khalifah. Di mana Khalifah berada, di situlah kantor pusatnya. Kebetulan sekarang ada di London.

Apa perintah Khalifah atas kejadian di Cikeusik?

Banyak berdoa, tingkatkan ibadah, hubungan umat harus ditingkatkan. Jalin hubungan dengan masyarakat, termasuk pemerintah. Kan banyak informasi yang salah dan harus dibenarkan. Selalu bersikap santun.

Apa hikmah dari peristiwa Cikeusik?

Kami bisa lebih dewasa. Anggota kami juga lebih khusyuk ibadahnya, lebih banyak berdoa. Tarbiyah itu ada yang singkat dan lambat. Dengan kejadian ini, orang-orang kami makin kuat, lebih solid persaudaraannya. Di Afrika Barat, kami mempunyai Rumah Misi. Ini sebutan kami, yang isinya ada masjid, kompleks perumahan, sekolah, perpustakaan. Ada kiai yang datang ke rumah mubalig kami. Video Cikeusik itu diputar, entah mereka dapatkan dari mana, kan itu sudah tersebar di YouTube. Tidak sampai satu menit, kiai itu mengatakan “stop-stop”. Inilah Ahmadiyah yang sedang dibunuh. Lalu kiai mengatakan, “Apakah ini orang Islam, dan mereka melakukan pembunuhan ini atas nama Islam dan Rasulullah dan Allah SWT?”

Anda menonton video Cikeusik?

Saya tidak berani. Sangat sadis sekali. Apa Islam seperti ini? Tapi (tahu) dari berita dan cerita, dan saya berjumpa dengan yang jadi korban dan saksi.

Apa yang Anda lakukan saat peristiwa itu terjadi?

Pada saat kejadian itu, saya tidak tidur tiga hari. Mencari tempat untuk mengungsikan (jemaah). Kita meminta tolong ke LBH, menolong dan mengeluarkan yang terkurung. Bagaimana memberi konseling untuk anak-anak yang melihat. Ini sangat traumatik. Kami pindahkan terutama ibu dan anak-anak. Sekarang kami kosongkan.

Anda menjadi amir sudah berapa periode?

Empat kali saya terpilih sejak 2001. Satu periode tiga tahun. Kita ini ada majelis syura tingkat nasional. Musyawarah nasionalnya setiap tahun, tapi untuk pemilihan ketuanya tiga tahun sekali. Setelah dipilih, dikirim ke pusat disetujui atau tidak.

0 komentar:

Posting Komentar

Template by:
Free Blog Templates