Rabu, 20 April 2011

Fears of Indonesia’s Ahmadiyah sect


In the Indonesian city of Bogor, members of a small Islamic sect called the Ahmadiyah tried to ignore the police patrol car parked opposite their mosque as they walked to Friday prayers.

Peering in through the window, I could see them kneeling, facing Mecca, listening to a sermon.

But at any slight noise, several heads turned round nervously.

The Ahmadiyah are afraid and it is obvious why. Hardline Islamic groups want the sect to be banned - they say it deviates from the tenets of Islam, and therefore has no place in Indonesian society.

Over the past few months these hardliners have become increasingly vocal in their demands - holding rallies in central Jakarta and airing their views in the media.

But some have taken it even further. In February, a violent mob bludgeoned three Ahmadis to death. Since then, houses and mosques have been attacked and protesters have vowed to escalate the violence if they do not get their way.

And it is not just hardliners who want the Ahmadiyah disbanded.

In TV talk-shows and internet chat-rooms, it is obvious that an increasing number of Indonesians, while not condoning the violence, would like to see an end to the Ahmadiyah in their country.

One man we spoke to, who lived opposite the Ahmadis’ mosque in Bogor, said he thought it would be better if they just went away.

Even the local authorities are making life difficult for them.

In common with some other provinces, officials in West Java - which includes the city of Bogor - have recently issued a new set of decrees restricting the Ahmadiyah’s activities.

The Ahmadiyah are not allowed to promote any of their activities, or convert anyone to their faith. They are also being encouraged to attend meetings to re-integrate themselves into mainstream Islam.

Low profile

So what have the Ahmadiyah done that is causing so much offence?

When I watched their prayers through the window, there did not appear to be any obvious differences between the Ahmadis and the mainstream Sunni Muslims who make up the majority of the Indonesian population.

The men were modestly dressed, and the women - confined to the balcony - wore the hijab. The format seemed virtually identical to Islamic prayers I have seen in other mosques.

Afterwards, when I spoke to Muhammad Harris, the local Ahmadiyah leader, he agreed that his faith was actually very similar to that of his Sunni neighbours.

“The prophet Muhammad is the last prophet - there is no other prophet after him,” he said.

“But unlike other Muslims, we believe our founder was a loyal disciple who was chosen to continue the teaching of Islam that came through Muhammad.”

Hardline Islamic groups, though, insist the Ahmadiyah faith disputes that Muhammad was the last prophet, and is therefore nothing short of blasphemy - an offence against Islam and a violation of Indonesian law.

And Mohammad Harris is suffering for it.

There used to be a sign outside his mosque saying it belonged to the Ahmadiyah, but that has been taken down now, after officials asked for it to be removed.

People he knows have had to flee their homes after being threatened, and having their mosques and homes attacked.

His own mosque has not been affected, but given the presence of the police patrol outside the building - one plain-clothed officer was even inside, mingling with the congregation - it is obvious that it might be a target.

‘Took an oath’

While local authorities have been announcing decrees against the sect, the national government has so far shied away from making any definite pronouncements against the Ahmadiyah.

After all, although Indonesia is the world’s most populous Muslim country, it has a secular constitution - including the right to freedom of religious expression.

Nasarudin Umar, the religious ministry’s director general for Islamic guidance, said he wanted to explore other measures before banning the Ahmadiyah.

“We’re asking Islamic groups, clerics and experts to give comprehensive guidance to both Ahmadiyah members and mainstream Muslims. We believe that the more they understand their religion, the more co-operative they’ll be.

“In terms of whether the Ahmadiyah should be banned, we’re still studying whether it will be the best.”

Other officials, though - including the religious affairs minister Suryadharma Ali - have already decided that the sect should be disbanded.

For human rights groups, this is a very worrying sign. In the past, Indonesia has often been praised for its religious tolerance, allowing many different faiths to live together side by side.

Poengky Indarti, executive director of the rights group Imparsial, said that if the government decided to ban the Ahmadiyah, other minority groups might meet the same fate.

“In the near future I think that it’s also dangerous for the Shia groups here in Indonesia, because many Indonesians are majority Sunni - I’m afraid this will become a clash between Islam versus Islam,” she said.

But whatever the government tries to do to limit the Ahmadiyah, the one thing it will not be able to do is convert the faithful, Muhammad Harris among them.

“God willing I’ll always be an Ahmadiyah,” he said. “I took an oath to follow it and I’m going to stick to it.”

Source: thepersecution.org

Selasa, 19 April 2011

Fatwa-fatwa Kontroversi Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Sekarang


Jumlah halaman : 240 B/W
Penulis : Syamsul Ulum
Penerbit : Mataram Publishing
Harga : Rp 60.000

Sejarah awal dari kehidupan para nabi dan rosul, para wali, para imam, para mujahid Islam dan orang-orang shaleh yang saat ini menjadi teladan kita semua. Sejarah telah mencatatnya bagaimana mereka dimasa awal dakwahnya banyak sekali mendapat perlawanan dan penganiayaan, baik secara fisik ataupun dalam bentuk fatwa-fatwa. Dari sejak Nabi Adam a.s., hingga Nabi Isa a.s. dan yang mulia Nabi Muhammad SAW pun tak luput dari fatwa-fatwa yg dikeluarkan oleh pemuka-pemuka agama di zamannya.

Karena itu, demi untuk menjaga persatuan, kebersamaan, kerukunan dalam kehidupan beragama yang lebih baik dan santun di bumi pertiwi ini, marilah kita lebih bijak dan berhati-hati untuk mengatakan kafir, murtad dan sesat terhadap siapapun.

Pemesanan disini

Menyambut Kedatangan Imam Mahdi

Jumlah halaman : 203 B/W
Penulis : Danial Anwar
Penerbit : Mataram Publishing
Harga : Rp 65.000

Semua agama yang mempercayai datangnya seorang pembaharu, yang dalam agama Islam disebut Imam Mahdi mempercayai bahwa kemunculannya nanti adalah disaat umat manusia berada dalam titik nadir kemrosotan akhlak dimana kebejatan dan kezaliman merajarela.

Hal tersebut juga disampaikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam., salah satunya seperti disebutkan dalam hadits nabi yang di riwayatkan oleh Thabrani.

Buku ini membahas akan kedatangan Imam Mahdi, Juru Selamat, Pembaharu atau Sang Piningit menurut kepercayaan agama-agama dan kepercayaan lainnya. Serta pengakuan dari orang-orang yang mengaku bahwa dirinya adalah Imam Mahdi yang telah ditunggu-tunggu kedatangannya oleh ummat manusia.

Pemesanan disini

Minggu, 10 April 2011

Nabi Palsu, Sikap Nabi, dan Ahmadiyah

TEMPO Interaktif. Pada tahun kesepuluh Hijriah, Nabi Muhammad SAW menerima surat dari seseorang yang mengaku jadi nabi. Namanya Musailamah bin Habib, petinggi Bani Hanifah, salah satu suku Arab yang menguasai hampir seluruh kawasan Yamamah (sekarang sekitar Al-Riyad). Dalam suratnya, Musailamah berujar: “Dari Musailamah, utusan Allah, untuk Muhammad, utusan Allah. Saya adalah partner Anda dalam kenabian. Separuh bumi semestinya menjadi wilayah kekuasaanku, dan separuhnya yang lain kekuasaanmu….”

Seperti dituturkan ahli tafsir dan sejarawan muslim terkemuka pada abad ketiga Hijriah, Imam Ibn Jarir Al-Tabari (838-923), dalam kitabnya Tarikh al-Rusul wa al-Muluk (Sejarah Para Rasul dan Raja) atau yang dikenal sebagai Tarikh al-Tabari, Musailamah bukanlah sosok yang sepenuhnya asing bagi Nabi. Beberapa bulan sebelum berkirim surat, Musailamah ikut dalam delegasi dari Yamamah yang menemui beliau di Madinah dan bersaksi atas kerasulannya. Delegasi inilah yang kemudian membawa Islam ke wilayah asal mereka dan membangun masjid di sana.

Menerima surat dari Musailamah yang mengaku nabi, Rasul tidak lantas memaksanya menyatakan diri keluar dari Islam dan mendirikan agama baru, apalagi memeranginya. Padahal gampang saja kalau beliau mau, karena saat itu kekuatan kaum muslim di Madinah nyaris tak tertandingi. Mekah saja, yang tadinya menjadi markas para musuh bebuyutan Nabi, jatuh ke pelukan Islam. Yang dilakukan Rasul hanyalah mengirim surat balasan ke Musailamah: “Dengan Nama Allah Yang Maha Pemurah dan Pengasih. Dari Muhammad, utusan Allah, ke Musailamah sang pendusta (al-kazzab). Bumi seluruhnya milik Allah. Allah menganugerahkannya kepada hamba-Nya yang Dia kehendaki. Keselamatan hanyalah bagi mereka yang berada di jalan yang lurus.” Rasul menempuh dakwah dengan cara persuasi dan bukan cara kekerasan. Musailamah memang dikutuk sebagai al-Kazzab, tapi keberadaannya tidak dimusnahkan.

Namun, setelah Nabi wafat, ceritanya jadi lain. Umat Islam yang masih shocked karena ditinggal pemimpinnya berada dalam ancaman disintegrasi. Sejumlah suku Arab menyatakan memisahkan diri dari komunitas Islam di bawah pimpinan khalifah pertama, Abu Bakr al-Shiddiq. Sebagian dari mereka mengangkat nabi baru sebagai pemimpin untuk kelompok mereka sendiri. Musailamah dan sejumlah nabi palsu lain, seperti Al-Aswad dari Yaman dan Tulaikhah bin Khuwailid dari Bani As’ad, menyatakan menolak membayar zakat, suatu tindakan yang pada masa itu melambangkan pembangkangan terhadap pemerintah pusat di Madinah. Abu Bakr lalu melancarkan ekspedisi militer untuk menumpas gerakan pemurtadan oleh para nabi palsu tersebut, yang menurut dia telah merongrong kedaulatan khalifah dan membahayakan kesatuan umat. Perang Abu Bakr ini dikenal sebagai “perang melawan kemurtadan (hurub al-ridda).”

Tampaknya, “perang melawan kemurtadan” inilah yang diadopsi begitu saja oleh para pelaku kekerasan terhadap Ahmadiyah tanpa disertai pemahaman yang mumpuni terhadap duduk perkaranya. Penyerangan brutal di Banten minggu lalu, yang menewaskan tiga warga Ahmadiyah, secara luas memang telah dikecam bahkan oleh banyak kalangan muslim sendiri, entah dengan alasan menodai citra Islam yang damai, merusak kerukunan beragama, atau melanggar hak asasi kaum minoritas. Tapi bagi para pelaku penyerangan dan yang membenarkannya, seperti FPI, apa yang mereka lakukan semata-mata demi membela Islam dari noda pemurtadan. Jemaah Ahmadiyah dianggap telah murtad karena mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi, dan karena itu mesti dikeluarkan secara paksa dari Islam.

Ironisnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI), Menteri Agama, dan pihak-pihak yang mengaku tidak menyetujui anarkisme terhadap Ahmadiyah, yang terus memaksa agar Ahmadiyah menjadi agama baru di luar Islam, sebenarnya juga memakai pendekatan “perang melawan kemurtadan” secara gegabah. Dalam hal ini, perbedaan MUI dan Menteri Agama dengan kaum penyerang Ahmadiyah hanya terletak dalam hal metode, tapi tidak dalam tujuan. Saya sebut ironis karena majelis ulama, yang berlabel “Indonesia” di belakang, ternyata merubuhkan prinsip kebinekaan Indonesia. Ironis karena seorang menteri yang merupakan hasil pemilu demokratis ternyata mempunyai pandangan yang melenceng dari konstitusi demokratis yang menjamin hak setiap warga menjalankan agama sesuai dengan keyakinannya. Yang paling ironis, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membiarkan saja semua itu terjadi.

Lepas dari itu, kalau kita tinjau dari sudut doktrin dan sejarah Islam pun, pemakaian kerangka “perang melawan pemurtadan” untuk menyikapi Ahmadiyah sejatinya sama sekali tak berdasar. Patut diingat, sebutan “perang melawan kemurtadan” bukanlah kreasi Abu Bakr sendiri, melainkan penamaan belakangan dari para sejarawan muslim. Disebut demikian barangkali karena yang diperangi saat itu memang arus pemurtadan yang terkait dengan munculnya sejumlah nabi palsu. Dan gerakan nabi palsu pada masa itu berjalin berkelindan dengan upaya menggembosi kedaulatan kekhalifahan. Penolakan membayar zakat bukan hanya pelanggaran terhadap rukun Islam, tapi juga sebentuk aksi makar. Ini karena, berbeda dengan ibadah salat yang hanya melulu menyangkut hubungan hamba dan Tuhannya, urusan zakat berkaitan dengan negara. Tambahan pula, para nabi palsu tersebut juga membangun kekuatan militernya sendiri. Musailamah, misalnya, menggalang tidak kurang dari 40 ribu anggota pasukan untuk melawan pasukan muslim dalam perang Yamamah, sampai-sampai armada muslim di bawah Khalid bin Walid sempat kewalahan pada awalnya. Karena itu, perang Abu Bakr melawan kemurtadan mesti dibaca sebagai sebuah tindakan yang lebih bersifat politis ketimbang teologis, yakni berhubungan dengan penumpasan terhadap kelompok pemberontak.

Karena itu, “perang melawan kemurtadan” versi khalifah Abu Bakr tidak bisa begitu saja diterapkan dalam konteks Indonesia sekarang. Taruhlah memang jemaah Ahmadiyah telah murtad karena mempercayai Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi. Tapi bukankah sejauh ini mereka belum pernah membangun kekuatan militer untuk merongrong umat Islam dan pemerintahan yang sah seperti Musailamah pada masa khalifah Abu Bakr? Bukankah sejauh ini warga Ahmadiyah hanya menuntut untuk diberi ruang menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinannya? Kalau memang begitu, apakah tidak keliru kalau mereka diperlakukan seperti para pemberontak?

Ditinjau dari perspektif kaidah fiqh “hukum berporos pada alasan”, gerakan pemurtadan oleh para nabi palsu pada masa Abu Bakr memang wajib diperangi, karena saat itu kemurtadan identik dengan pemberontakan yang mengancam kedaulatan khalifah dan integrasi umat. Adapun kalau sekadar murtad saja tanpa dibarengi pemberontakan, hukum yang berlaku tentu tidak sama. Pada titik inilah kita bisa mengacu pada peristiwa korespondensi antara Nabi Muhammad dan Musailamah seperti saya paparkan di awal tulisan.

Di sinilah pemahaman tentang metodologi hukum Islam mutlak diperlukan dalam melihat pokok soalnya. Tanpa pengetahuan yang mumpuni tentang metodologi hukum Islam, keputusan yang muncul dan tindakan yang diambil mungkin saja tampak sesuai dengan ajaran syariat, tapi bisa jadi esensinya bertentangan dengan maqashid al- syari’ah (tujuan-tujuan syariat) yang lebih bersifat universal, seperti perlindungan terhadap hak-hak dasar manusia.

Lagi pula, satu-satunya dalil Al-Quran tentang kemurtadan sama sekali tidak menyeru kaum muslim untuk memerangi kaum murtad semata-mata karena kemurtadannya. Simaklah Surat Ali Imran ayat 90. Ayat ini tidak menyinggung soal perlunya menggunakan cara-cara kekerasan dan paksaan terhadap si murtad, karena Tuhanlah yang akan menjadi hakim atas perbuatannya di akhirat nanti.

Dalam kerangka Qurani semacam inilah kita bisa mengerti kenapa Nabi tidak menghukum Musailamah, yang tanpa tedeng aling-aling mengaku sebagai nabi. Bukan karena beliau mendiamkannya--toh Nabi melabelinya dengan gelar “Al-Kazzab”. Menurut saya, nabi bersikap seperti itu karena, dalam Al-Quran, hukuman terhadap si murtad memang sepenuhnya menjadi hak prerogatif Allah SWT. Nabi Muhammad hanyalah seorang manusia biasa yang bertugas menyampaikan risalah Ilahi. Beliau bukan Tuhan yang turun ke bumi. Itulah sebabnya Al-Quran menegaskan tidak ada paksaan dalam agama.

Kalau Nabi saja demikian sikapnya, alangkah lancangnya Front Pembela Islam (FPI), MUI, dan Menteri Agama yang merasa punya hak untuk mengambil alih wewenang Tuhan untuk mendaulat diri mereka sebagai hakim atas orang-orang yang dianggap murtad seperti terlihat dalam sikap mereka terhadap jemaah Ahmadiyah. Di sinilah saya kira umat Islam mesti memilih dalam bersikap, mau mengikuti cara-cara FPI, MUI, dan Menteri Agama, atau meneladan sikap Rasulullah.

*)
Akhmad Sahal, Kader NU, kandidat PhD Universitas Pennsylvania

source: surga-mu.blogspot.com

Template by:
Free Blog Templates