Selasa, 29 Maret 2011

Ministry to hold another meeting on Ahmadiyah

Muslim organizations, law experts, human rights watchdogs and Ahmadiyah figures will hold a dialogue on the Ahmadiyah on Tuesday and Wednesday, the religious affairs minister said Monday.

Minister Suryadharma Ali said the two-day dialogue hosted by his office would give equal chance to Muslim organizations, including the Islam Defenders Front (FPI), Ahmadiyah figures, experts and human rights activists, to present their opinions on the Islamic sect.

Last week, the ministry also held a meeting on the Ahmadiyah on the heels of a fatal clash and the issuance of bylaws banning the Ahmadiyah. Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) refused to attend the meeting, saying the meeting was biased judging from the list of invitees.

JAI’s legal consultant, Indonesia Legal Aid Institution Foundation (YLBHI), told The Jakarta Post that JAI would once again not attend Tuesday’s or Wednesday’s meeting.

Nasionalisme Ahmadiyah

Puisi serupa juga ditulis oleh penyair lain dengan judul “Pita Hitam dalam Karangan Bunga”. Kalau tidak salah ingat bait-bait puisi adalah sebagai berikut: Tiga anak kecil / Dengan langkah malu-malu / Datang ke Salemba sore itu / Ini dari kami / Pita hitam dalam rangkaian bunga /untuk kakak yang ditembak mati /siang tadi

Hari Jumat 25 Februari 1966, ratusan penduduk kota metropolitan Jakarta mengantarkan jenazah Arief Rahman Hakim, Pahlawan Ampera, ke pemakaman Blok P Kebayoran Baru. Arief Rahman Hakim sendiri lahir pada tanggal 24 Februari 1943 di Padang. Kedua orang tuannya Haji Syair dan Hakimah, adalah orang Ahmadiyah yang telah lama tinggal di kota itu. Nama yang sebenarnya adalah Ataur Rahman, tetapi kemudian nama pertama itu digantinya sendiri dengan nama Arief. Adapun tambahan nama Hakim, ia ambil dari nama ibundanya yang bernama Hakimah

Pada th. 1958, ia tamat SMP dan pindah ke Jakarta untuk meneruskan pelajarannya di SMA dan kemudian melanjtkan pada fakultas kedokteran UI. Ketika di Jakarta Arief adalah seorang khudamul Ahmadiyah yang aktif. Dalam pergolakan yang dicetuskan mahasiswa untuk merobohkan rezim orde lama, Airef tidak ketinggala. Kamis, 24 Februari 1966, ia gugur tertembus peluru. Arief kemudian disebut sebagai Pahlawan Ampera.

Selain Arief Rahman Hakim, orang Ahmadiyah juga tercatat dalam berbagai perjuangan kemerdekaan RI. Harian Kedaulatan Rakyat di Yogyakarta dan Harian “Merdeka” di Jakarta edisi Selasa Legi, 10 Desember 1947 memuat tulisan yang menguatkan hal ini. Dalam satu artikel yang berjudul “Memperhebat Penerangan Tentang Repoblik Gerakan Ahmadiyah Toeroet Membantoe”, dikatakan bahwa: “Betapa besarnja perhatian gerakan Ahmadijah tentang perdjoeangan kemerdekaan bangsa kita dapat diketahoei dari soerat-soerat kabar harian dan risalah-risalah dalam bahasa Ouerdue jang baroe-baroe ini diterima dari India. Dalam soerat-soerat kabar terseboet, didjoempai banjak sekali berita-berita dan karangan-karangan jang membentangkan sedjarah perdjoeangan kita. Soal-soal yang berhoeboengan dengan keadaan ekonomi dan politik Negara, biografi pemimpin-pemimpin kita, terdjamahan dari Oendang-Oendang Dasar Repoeblik dll”.

Selain itu juga dikatakan: “Selain itoe terjtantoem djoega beberapa pidato jang pandjang lebar, mengenai seroean dan andjoeran kepada pemimpin-pemimpin Negara Islam, soepaja mereka dengan serentak menjatakan sikapnja masing-masing oentoek mengakoei berdirinja pemerintahan Repoeblik Indonesia. Hal yang mengharoekan ialah soeatoe perintah oemeom dari Mirza Bashiruddin Mahmoed Ahmad, pemimpin gerakan Ahmadijah kepada pengikoet-pengikoetnja di seloeroeh doenia jang djoemlahnja 82 djoeta orang soepaja mereka selama boelan September dan Oktober jang baroe laloe ini, tiap-tiap hari Senin dan Kemis berpoesa dan memohonkan do’a kepada Allah SWT goena menolong bangsa Indoenesia dalam perdjoangannja, memberi semangat hidoep oentoek tetap bersatoe padoe dalam tjita-titanya, memberi ilham dan pikiran kepada pemimpinnja goena memadjoekan negaranja menempatkan roe’b (ketakoetan) di dalam hati moesoehnja serta tercapainja sekalian tjita-tjita bangsa ini”.

Tercatat pula dalam sejarah bahwa ketua Hoofdbestuur Jemaat Ahmadiyah pada masa orde lama adalah R. Muohammad Moehyidin. Beliau menjabat sebagai pegawai tinggi kementerian dalam negeri dan juga pejuang yang aktif turut serta mempertahankan kedaulatan RI di Jakarta. Pada th. 1946 beliau diangkat sebagai sekretaris panitia perayaan kemerdekaan RI yang pertama. Rencananya, beliau akan memegang bendera merah putih di barisan depan. Akan tetapi delapan hari sebelum perayaan proklamasi dilaksanakan, beliau diculik Belanda dan tidak ketahuan rimbanya hingga kini.

KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur ) juga menyatakan ada saudaranya yang ikut Jemaat Ahmadiyah, yang ikut serta dalam perjuangan kmerdekaan RI. Saya lupa nama saudara Gus Dur tersebut. Para pembaca bisa cari mengenai data ini di internet, khusunya situs yang terkait dengan Gus Dur.

Mungkin karena jasa Ahmadiyah dalam perjuangan kemerdekaan RI inilah founding father bangsa ini, Ir. Soejkarnom bersikap simpatik terhadap Jemaat Ahmadiyah. Rasa simpati presiden pertama RI ini dibadikan dalam bukunya ‘Di Bawah Bendera Revolusi’ itu juga (jilid I). Di halaman 389 Soekarno menulis: “Ya,……. Ahmadiyah tentu ada cacadnya, - dulu pernah saya terangkan di dalam suratkabar ‘Pemandangan’ apa sebabnya saya tidak mau masuk Ahmadiyah – tetapi satu hal adalah nyata sebagai batukarang yang menembus air laut: Ahmadiyah adalah salah satu faktor penting di dalam pembaharuan pengertian Islam di India, dan satu faktor penting pula di dalam propaganda Islam di benua Eropa khususnya, di kalangan kaum intelektuil seluruh dunia umumnya. Buat jasa ini – cacad saya tidak bicarakan di sini – ia pantas menerima salut penghormatan dan pantas menerima terima kasih. Salut penghormatan dan terima kasih itu, marilah kita ucapkan kepadanya di sini dengan cara yang tulus dan ikhlas”

***

Dari data dan fakta di atas, kita bisa menilai seberapa besar nasionalisme Ahmadiyah. Dan saya kira pembaca yang cerdas akan segera membandingkannya dengan nasionalisme kelompok-kelompok Islam radikal yang getol menyuarakan pemberangusan terhadap Jemaat Ahmadiyah belakangan ini. Bukankah kelompok-kelompok ini jugalah yang menginginkan penerapan formalisasi syariah, menginginkan dasar Negara RI yang Pancasila dan beragam ini diganti dengan ‘negara Islam’ menurut versi mereka sndiri?. Dari sini jelas terlihat, siapa yang ikut mnyumbangkan jasanya bagi nasionalisme dan kebangkitan bangsa ini, dan siapa pula yang hendak membangkrutkannya?

Penulis adalah alumnus Pesantren Assalafie Babakan Ciwaringin, yang sekarang berkhidmah menjadi ketua PC Lakpesdam NU Cirebon, dan bekerja untuk kemanusiaan di Fahmina Institute.

Tadzkirah Dan Kitab Suci Ahmadiyah

Kenapa mereka mengatakan Kitab Suci kami Tadzkirah? Padahal Kitab Suci Kami Al-Qur'an

Setelah peristiwa Cikeusik, pemberitaan tentang Ahmadiyah dan aktifitasnya cukup mendominasi media-media di Indonesia dan cukup banyak media asing yg juga memberitakannya.

Berbagai forum resmi maupun kelompok-kelompok masyarakat diujung-ujung jalanpun tak luput dari membicarakan Ajaran Ahmadiyah.

Pembicaraan tentang Ahmadiyah tentu saja lebih diwarnai perbedaan ajaran tersebut seperti tentang kitab suci nya yang berbeda hingga kepercayaan mereka tentang Imam Mahdi yang sudah turun.

Tim Beritajitu.com yang langsung menemui cukup banyak pengikut Ahmadiyah justru mendapatkan banyak sekali informasi yang berbeda dengan informasi yang beredar di masyarakat luas.

Semua pengikut Jamaah Ahmadiyah yg ditemui tim beritajitu.com mengatakan bahwa Kitab Suci mereka (Jamaah Ahmadiyah) adalah Al-Qur'an. Bahkan dari pengamatan tim beritajitu.com , hanya sedikit sekali pengikut Jamaat Ahmadiyah yang memiliki Tadzkirah yg ternyata adalah kumpulan dari pengalaman-pengalaman rohani Mirza Ghulam Ahmad yg dibukukan di era ke-khalifahan kedua dalam silsilah Kekhalifahan Jamaah Ahmadiyah.

"Bagi kami pengikut Jamaah Ahmadiyah, Kitab Suci kami adalah Al-Qur'an. Lalu Kenapa mereka selalu mengatakan kitab suci kami Tadzkirah?" Kata beberapa pengikut Ahmadiyah lagi.

Ketika tim beritajitu menanyakan apa yg berbeda dari ajaran Ahmadiyah? Beberapa pengikut Ahmadiyah mengatakan perbedaan cuma satu, yakni kami percaya bahwa Imam Mahdi Sudah datang.

Kamis, 17 Maret 2011

Dua Karib dari Muara Baru

Mereka mengenang dua Ahmadi yang tewas dibunuh

Fahri Salam

PADA pukul 7 malam Minggu, 5 Februari 2011, Roni Pasaroni bilang “mau ngojek” kepada Rahmawati. Anak mereka, Tati Apriani, gadis lincah usia 5 tahun, melihat Papa dia pergi dari ruang tengah, sebuah petak beralas semen sekaligus ruang tidur bagi empat anggota keluarga ini. Wati, yang menjaga warung kecil di depan rumah, menyaksikan rutinitas itu selama dua tahun belakangan sejak suaminya menanggalkan identitas preman. Roni biasa berangkat pukul 8 pagi, pulang saat zuhur dan rehat siang hingga pukul 14:00, kembali ke rumah jam 4 sore. Jam 7 malam dia melanjutkan ngojek sampai pukul 01:00 dini hari. Roni mengendarai sepedamotor Yamaha MX warna merah, dibeli dengan kredit, tempat mangkalnya di ujung jalan. Itulah keseharian tetap dari suaminya, melalui sudutmata Rahmawati dari dalam rumah, hingga dia tak kembali dinihari itu.
Perilaku Roni berubah sejak Mahdarisa lahir, anak pertama mereka, sembilan tahun lalu. Dia kemudian mendalami agama jauh lebih intens, dengan rajin beribadah, sampai-sampai Wati kaget melihat perubahan Roni yang shalat tahajud dari seseorang yang sama yang sebelumnya bahkan tak pernah shalat lima waktu. Jumiyati, kakak perempuan Roni, pengganti peran ibu setelah orangtua cerai, terkenang masa-masa rutin saat Roni selalu mengingatkan ibadah shalat tepat waktu. Jumiyati mengalami kekagetan yang senyap sesudah Roni tiada hanya dari mendengar suara motor melintasi tempatnya. Roni rutin pergi ke tempat Jumiyati disela-sela mengojek. Tempat tinggal Jumiyati dan Mansyur, suaminya, dan enam anak mereka di kolong jembatan di Penjaringan, Jakarta Utara. Saat ada bunyi sepedamotor mendekat, Jumiyati merasa adiknya kembali—sesuatu yang takkan mungkin; dan dia mendadak menangis saat ingatan itu mengalir.

Sebulan kemudian Rahmawati mengetahui Roni pergi bersama Warsono dan Imron—cerita dari Erni Jaeroni, istri Warsono, saat mereka berkumpul di ruang tengah, tempat di mana Tati Apriani melihat Papa dia pamit pada malam Minggu. Ini rumah petak 3×5 meterpersegi, berdempetan rumah-rumah ukuran serupa, di mana sepanjang hari tercium bau menyengat dari gelombang udara yang mengirimkan campuran air mampat di selokan, tumpukan sampah, serta ikan-ikan yang dijemur di suatu tempat di dekat muara. Kini Rahmawati duduk menggelosor di dekat lemari es, membelakangi dinding plastik yang memisahkan kamar mandi. Rak televisi, lemari pakaian dan barang-barang lain, termasuk perkakas makan, ditempatkan di tepian tembok yang menghubungkan pintu rumah. Keluarga Roni dan Warsono tinggal di Muara Baru—sebuah permukiman padat perkotaan Jakarta Utara; sebagian besar warga di sini bekerja nelayan dan buruh pabrik perikanan.

Ketidaktahuan Rahmawati akan kepergian Roni pada malam itu, bukan lantaran dia tak acuh mengikuti keseharian suaminya, tapi justru cenderung menguatkan kesan “bidadari”—sebutan yang disematkan Jumiyati, kakak Roni, atas peran Wati menetralisir sifat-sifat buruk Roni. Itu juga kurang-lebih menyiratkan masa silam pasangan ini. Wati dan Roni menikah sebelas tahun lalu dan keluarga Wati dari Jeneponto, Makassar, menolak anaknya menikah dengan preman. Roni jatuh cinta seperti remaja berhati buta kepada perempuan buruh pabrik dan dia mengancam, “Kalau Lu kagak mau, gua culik, gua bunuh!” Pada suatu malam Minggu saat pacar Wati berkunjung, Roni muncul tanpa diduga lalu amarahnya meledak, mengajak pacar Wati berkelahi—oleh Wati diminta kabur. Gelas yang dihidangkan untuk pacarnya dipecahkan Roni. Roni menyayat pergelangan tangan sendiri dan luka itu mendapat sepuluh jahitan.

Saat hamil muda, keluarga Wati mengirim abang dia dan polisi ke Muara Baru, minta kandungan digugurkan. Tetapi Roni menolak, “Jangan, Ma! Nanti kita berdosa kalau gugurin.”

“Ya, saya juga tahu,” kata Wati, “Tapi kamu bajingan. Kita mau makan apa?”

“Ya, udah, ayo kita ke Surabaya!”

Roni mengajak Wati ke rumah ayahnya, yang menikah lagi dengan perempuan dari Malang sesudah bercerai. Mereka kembali ke Muara Baru saat usia kandungan sudah tua. Orangtua Wati mulai menerima pernikahan mereka setelah Mahdarisa lahir. Empat tahun kemudian, Tati Apriani mengeluarkan tangisan pertamanya di dunia.

Roni belum memutuskan kehidupan jalanan. Namun Jumiyati, diasuh nenek dari pihak ibu bersama Roni, mengatakan adiknya “nggak pernah” memberikan “uang haram kepada keluarga” dari jatah dia sebagai preman. Abdul Atto, pensiunan guru berusia 67 tahun dan guru pembimbing Roni, menyebut Roni dulu adalah “bajingan.” Rahman, teman mengobrol Roni nyaris sepanjang malam, bercerita Roni pegang keamanaan dua pabrik di Muara Baru serta satu pangkalan bus, jurusan Jakarta-Pekalongan, di mana dia “tinggal duduk” sudah dapat duit “minimal Rp 50ribu.”

Sewaktu kecil di Tanjung Priok, Roni lari saat hendak disunat, naik mobil kontainer. Satu gigi-seri dia tanggal separuh kala terjatuh dari atap sewaktu mengambil bulu kok badminton. Bertahun-tahun setelah dia bisa menyetir sepedamotor, dia pun terjatuh lagi dan gigi-seri itu tanggal utuh. Orang-orang di Muara Baru menjulukinya “Roni Ompong.”

Dia memiliki tato naga di punggung yang melilit sekujur badan. Mansyur, suami Jumiyati, bercanda tentang tato itu: “Udah makan belum tuh naganya, nih makan, laper kali tuh naga, Ron?!”—sambil menyodorkan piring nasi ke mulut naga. Pada akhirnya, tato itu adalah pengenal yang jelas dari tubuh Roni, plus satu giginya yang ompong, saat tubuhnya tak bernyawa, berada sekira tujuh jam perjalanan dari Muara Baru.

Nama dia yang pertama muncul, secara definitif, sebagai korban tewas di Cikeusik pada 6 Februari 2011. Seseorang dari kolega Roni mendatangi rumah Rahmawati pada pukul 10 malam Senin, mengabarkan Roni telah meninggal. Wati jatuh pingsan. Saat terbangun, para tetangga sudah berkerumun. Ada kegaduhan. Ada banyak dari mereka menangis. Mahdarisa dan Tati Apriani meraung histeris.
Rahmawati segera menelepon keluarga di Jeneponto. Oom dan Mama dia langsung pesan tiket pesawat pada hari Senin, 7 Februari. Mereka dapat jadwal penerbangan pukul 5 sore dan tiba di Muara Baru pukul 8 malam. Mayat Roni diotopsi di rumahsakit daerah Serang, dijemput oleh Jumiyati dan keluarganya. Jenazah datang pukul 01:30 dinihari, di tengah ruangan sempit yang mendaraskan surat Yasin. Pada pukul 7 pagi, 8 Februari, penanda waktu yang menunjukkan Roni siap beraktivitas untuk ngojek tapi saat itu terbaring dalam kain kafan, jenazahnya dibawa ke Gondrong, Tangerang, untuk dimakamkan. Penguburan berlangsung sekira pukul 10 pagi bersama jenazah Tubagus Chandra, warga Parung, Bogor.
Sebulan kemudian saat Rahmawati dan kedua anaknya berkumpul bersama istri dan empat anak Warsono, almarhum Roni hadir dari bibir Wati dalam ingatan subuh hari selagi membangunkan Wati untuk segera wudhu. Itu kebiasaan rutin Roni yang paling diingat istrinya. Ingatan itulah yang seketika membuat airmuka Wati sembab.

Di sela cerita tentang Roni, Tati Apriani menimpali ibunya dengan berteriak, “Mama bohong! Mama bohong!”

Jumiyati, duduk di belakang pintu, meladeni: “Eh, nanti nggak diajak ke kolong loh!”

Tati paling suka mengisi waktu senggang bersama “Tante Ati” di tempatnya, di kolong jembatan Berok, Penjaringan. Tati menimpali, “Nggak mau… Nggak mau!”—seraya melonjak-lonjak hingga ibunya mendongakkan kepala, sementara jemarinya meraih mulut si mama. Ucapan Tati bukan berasal dari nada sedih, tapi ada sesuatu yang lugu dan ceria dari spontanitasnya. Tante Ati mengatakan polah Tati seperti adiknya sewaktu kecil.

Ada seorang tamu di tengah keluarga ini yang mengajak Tati mengobrol. Dia bertanya, “Papa Tati mana?”

“Lagi kerja!”

“Kemana?”

“Ke Bandung.”

Jumiyati menimpalinya, “Kemarin bilang ke Bogor, sekarang ke Bandung. Mana yang bener?”

“Nggak mau… Nggak mau…” Bocah itu melonjak-lonjak lagi.

“Dia sering bilang, ‘orang-orang bohong!’” kata Rahmawati.

“Siapa yang bohong, Dek?” tanya bibinya.

“Tante Ati bohong!”

“Oom bohong!”

“Semua BOHONG.”

Tati sering merengek pada ibunya, “Minta Pak Atto balikin Papa lagi! Suruh pulangin, Ma!”

Sehari sebelumnya, Abdul Atto mendatangi keluarga Roni dan Tati bilang lagi kepada “Pak Atto”: “Balikin, Papa. Bawa pulang!”

Tati melihat Roni Pasaroni dikuburkan. Tapi dia mengiba kepada ibunya, “Kasihan Papa di sana sendirian kerja…”

Mahdarisa, kini kelas 3 sekolah dasar, sering berkata kepada adiknya, “Bapak bukannya kerja. Dia di sana meninggal.”

“Nggak! Papa lagi kerja. Dia kerja di Bandung!”

“Tati nggak ngerti ayahnya meninggal. Dia tahu dan melihat Papa-nya dikubur. Dia minta sama Pak Atto, minta digali lagi dan dibawa pulang,” Rahmawati berkata.

WARSONO, dari foto di internet, memiliki mata sendu, kumis tipis, jejak cambang di dagu dan rambut hitam belah tengah, dengan arah mata menengok kamera ke sudut kanan. Dia yang tertua, berusia 35 tahun, dari tiga korban tewas di Cikeusik.

Dia menikah dengan Erni Jaeroni. Mereka memiliki lima anak, satu telah meninggal. Anak pertamanya, Merliana, usia 17 tahun, sempat sekolah kejuruan selama tiga bulan lantas memilih bekerja sebagai buruh pabrik udang di Muara Baru. Anak kedua hingga keempat, berturut-turut Dwiyati, usia 14 tahun, Tri Ayu Lestari, 9 tahun, dan Selvi Juliyanti, 1,5 tahun. Ketika Warsono pamit “mau rapat” ke Balikpapan, pada malam Minggu, 5 Februari 2011, si bungsu sedang sakit demam. Balikpapan adalah nama jalan di wilayah Cideng, lokasi kegiatan Ahmadiyah Jakarta Pusat. Warsono berangkat naik bajaj bersama Imron dan Roni Pasaroni. Dia janji kepada Erni Jaeroni: “Entar jam 10 pagi pulang.” Senin sore, Erni mendengar suaminya meninggal.

Senin pagi, 7 Februari, Erni sempat melayat ke rumah Rahmawati. Dua korban lain sebelumnya masih sumir. Nama yang beredar hingga sehari setelah penyerangan, plus pembunuhan itu, adalah Adi Mulyadi dan Tarno; keduanya jemaat Ahmadiyah dari Cikeusik. Kabar pasti datang sesudah otopsi di rumahsakit daerah Serang. Jenazah Warsono diberangkatkan menuju desa Dukuh, Kapetakan, Cirebon, kampung halamannya.

Rahman, jemaat Ahmadiyah yang tinggal sekampung dengan Warsono, kaget mendengar sahabatnya meninggal. Rahman supir bajaj, dia tinggal di Jembatan Dua. Sejak Januari dia pulang ke Kapetakan untuk urusan keluarga. Dia segera mendatangi kepala desa, “Pak, Warsono meninggal di peristiwa Cikeusik. Bapak sebagai kepala desa, tolong amankan pemakamannya.” Kepala desa mengamini. Setelah Rahman pulang, ada sekitar sepuluh orang mengklaim dari kelompok As-sunnah yang beraliran Wahabi, datang ke kepala desa, menolak pemakaman Warsono dan mengancam mayatnya akan “dibakar.” Namun kepala desa tak menggubris. Sempat terjadi lempar kursi. Rahmans sendiri diminta tetap di rumahnya. “Kamu diam saja di rumah. Ini urusan kami. Yang penting, besok terjadi pemakaman di sini!” ujar petugas polisi. Esok hari, 8 Februari sekitar pukul 10 siang, Warsono dikuburkan tanpa gangguan.

Sekitar duapuluh tahun lalu Warsono ke Jakarta ikut orangtuanya. Kustolib, ayahnya, bekerja supir taksi. Kustolib berasal dari Brebes, pulang ke Kapetakan, kampung istrinya, setelah sepuh dan sakit-sakitan; dia juga mengidap stroke. Warsono tetap merantau di Jakarta. Profesi terakhir tukang service elektronik.

Dia kenal Roni Pasaroni sejak muda. Mereka teman “nongkrong bareng dan mabuk bareng”—demikian kesaksian satu kolega mereka. Menurut Rahman, keduanya pernah belajar beladiri di satu guru silat yang sama di Muara Baru. Roni, yang seorang preman, memiliki banyak musuh dan pesaing. Warsono menjadi pendamping plus pelindung Roni berkat kepercayaan dia akan kejawen; suatu keyakinan sinkretis yang masih mengakar kuat dalam kultur masyarakat Jawa, termasuk di Cirebon pedamalan. Baik keduanya sama-sama menjalani kehidupan keras pinggiran ibukota Jakarta.

Pada 2002 Warsono mengenal Ahmadiyah dari seorang sahabatnya. Dia penasaran tentang Mirza Ghulam Ahmad, pendiri Jemaat Ahmadiyah. “Apa benar Mirza Ghulam seorang nabi?” pikirnya sampai sulit tidur. Rasa penasarannya kian bertambah. Dia putuskan untuk datangi mubaligh Ahmadiyah di Jelambar, Jakarta Barat. Menurut kesaksian koleganya, Warsono bergabung menjadi jemaat Ahmadiyah setelah berdiskusi untuk kali kedua. Namun dia “vakum” selama dua tahun. Dia pernah sakit selama tigabelas hari, tak bisa makan dan minum. Perasaannya tersentuh saat mendapat besuk dari kolega Ahmadiyah. Dia kembali aktif dan kemudian berperan selaku ketua kelompok jemaat Ahmadiyah di Muara Baru serta pengurus jemaat Jakarta Utara. “Militansinya sangat luar biasa dalam jemaat,” demikian kesaksian itu.

Mirza Ghulam Ahmad—yang menarik keingintahuan Warsono—lahir dari keluarga elit di Qadian, Punjab, British India pada 1835, mendirikan satu komunitas Muslim pada 1889, yang sepuluh tahun kemudian bernama Jemaat Ahmadiyah. Ia mengedepankan dialog antar-iman dan pendekatan non-kekerasan. Jemaat Ahmadiyah Indonesia resmi berdiri sebagai organisasi berbadan hukum pada 1953.

Dalam khasanah Ahmadiyah, ada dua macam kategori nabi: kategori tasyri di mana Nabi Muhammad adalah nabi tasyri terakhir; serta ghairi tasyri, golongan nabi yang tak membawa syariah. Ia terbagi dua: mustaqil, nabi yang berdiri sendiri, serta ghairi mustaqil, menjadi nabi karena mengikut nabi lain. Kategori ghairi mustaqil, dalam istilah Nahdlatul Ulama, ialah nabi yang melaksanakan syariah Nabi Muhammad. Ia hanya pelayan Islam dan Nabi Muhammad. Dalam khasanah Ahmadiyah, kategori ini termasuk Nabi Zilli, Nabi Buruzi, Nabi Mazazi, Nabi Ummati maupun Mirza Ghulam Ahmad.

Namun perkara “nabi” untuk merujuk Mirza Ghulam Ahmad belakangan dijadikan isu sensitif di Indonesia, terutama di Pulau Jawa, dan kian menonjol sejak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berkuasa pada 2004. Isu lain yang “didramatisir” ialah buku berjudul Tadzkirah, disari dari kutipan-kutipan buku atau naskah dan ceramah-ceramah Ghulam Ahmad, 27 tahun setelah dia wafat, yang dijadikan kampanye hitam sebagai “kitab suci” jemaat Ahmadiyah. Berkat siar kebencian, serta mobilisasi warga umum oleh ulama dan kyai-kyai setempat, intensitas kekerasan terhadap jemaat Ahmadiyah kian menjalar sekaligus membesar. Nama komunitas ini makin terdengar setelah ada penyerangan di Parung, Bogor, pusat kegiatan JAI, pada 19 Juli 2005.

Pada 29 Juli 2005, Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa yang menyatakan Ahmadiyah “…berada di luar Islam, sesat dan menyesatkan…” serta pengikutnya dianggap “murtad.” Fatwa ini perpanjangan fatwa MUI 1980 serta keputusan muktamar Organisasi Konferensi Islam di Jeddah, Arab Saudi, Desember 1985. Tiga tahun kemudian, Menteri Agama Maftuh Basyuni, Menteri Dalam Negeri Mardiyanto, dan Jaksa Agung Hendarman Supanji meneken Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri, pada 9 Juni 2008, melarang penyebaran ajaran Ahmadiyah yang dinilai “menyimpang.”

Tahun-tahun kekerasan terhadap jemaat Ahmadiyah itu membawa pengaruh keimanan seorang Ahmadi bernama Warsono, yang baru giat lagi setahun sebelum penyerangan Parung. Dia bukannya takut; sesuatu yang diinginkan oleh para penyerang, justru keimanannya kian solid. Ini juga Secara tak langsung melibatkan Roni Pasaroni, karib dekat Warsono, yang bukan jemaat Ahmadiyah. Ketika insiden Parung tahun 2005, Roni geram mendengar kolega-kolega Warsono diserang. Roni “sangat marah”—demikian kesaksian satu koleganya—terhadap kelompok organisasi bernama Front Pembela Islam, yang terlibat dalam penyerangan tersebut, di mana banyak pengikut FPI berasal dari Muara Baru. Namun Warsono menenangkan Roni untuk tetap sabar.

Pada 2008, enam tahun setelah Warsono menjadi jemaat Ahmadiyah, Roni Pasaroni mengikuti langkah sahabatnya. Dua tahun kemudian mereka menjadi syuhada; korban tewas pertama dari mobilisasi kebencian sejak prakarsa fatwa MUI tahun 2005 dan SKB Tiga Menteri. Di ujung perjalanan keimanan Warsono, sejak dia pamit “ke Balikpapan” pada malam Minggu, 5 Februari, istrinya Erni Jaeroni mengenang:

“Anaknya yang paling kecil sedang sakit demam. Saya bangun, dia nangis. Pagi saya tungggu, eh tahu-tahu dia nggak ada…”

MASJID “Baiturrahim” di Jelambar, Jakarta Barat, berdiri di atas tanah wakaf Nasyir Mahmud Neway. Ia terletak di tengah permukiman, bangunan dua lantai, bercat putih, lantai pertama dipakai sebagai masjid. Pada 4 Maret 2011, usai shalat Jumat, lima jemaat Ahmadiyah duduk melingkar di atas karpet masjid. Ada Abdul Atto, Mansyur, Rahman serta mubaligh dan satu jemaat—menerima kedatangan saya untuk cerita almarhum Roni Pasaroni dan Warsono. Ruangan bersih dan teduh.

Abdul Atto datang ke Jelambar sejak 1970-an, guru sekolah dasar di komplek Bank Dagang Negara di Pesing, lalu menjadi kepala sekolah dan pensiun tahun 2000. Atto mengisi waktu dengan buka tambal ban dan warung kelontong bersama Mardiyah. Atto lahir di Cisalada, perkampungan di Bogor, yang pernah diserang pada 1 Oktober 2010. Dia punya rumah di Cisalada, letaknya di belakang rumah Basyirudin Karim, front terdepan dari gang perkampungan yang berbatasan desa Kebun Kopi dan Pasar Salasa—tetangga mereka yang menyerang Cisalada. Rumah Atto selamat tapi rumah Karim beserta isinya hancur berantakan. Saya pernah bertemu Karim di Cisalada, pria sepuh 60 tahun dengan mata lelah, yang membangun rumah tersebut setahap demi setahap dari usaha menjahit sejak dari Jelambar. Properti milik Karim yang selamat hanyalah mesin jahit dan mesin obras.

Menurut Atto, almarhum Warsono adalah “orang yang rajin.” “Dia mau usaha apapun,” kata Atto. Almarhum Roni Pasaroni dikenalkan Ato lewat Warsono, “Pak, ada preman, bapak ke rumah saya dah!”

Atto biasa pergi dengan sepedamotor dan kali pertama bertemu Roni, dia mencium bau alkohol dari mulutnya. Roni bertanya bagaimana cara sembahyang, bagaimana cara bermasyarakat yang benar. “Saya terangin, ‘kita jangan merendahkan orang lain, nggak boleh sombong. Kalau ada orang yang nggak suka sama kita, yang jahat, kita tidak boleh melawan.’ Seperti itu. Yang biasa saja,” kata Atto. Kali kedua bau alkohol masih menguar. Ketiga kali, Roni menceritakan suatu mimpi: dia pergi haji ke Mekkah, bertemu seseorang dari 7 orang dalam rombongan haji, mengenakan kemeja rapi dan peci hitam—mirip Abdul Atto. Dia juga bermimpi minum air putih dari semacam teko dan kemudian llihat gambar muka Mirza Ghulam Ahmad. Atto menimpali, “Wah itu, Ron, air itu air rohani, berarti kamu harus belajar banyak rohani.”

Sesudahnya, Roni sering diskusi dengan Abdul Atto. Dia datang ke Jelambar dan banyak membaca literatur Ahmadiyah. Satu kali Atto menanggapi Roni, “Sudah bener bergabung? Yakin? Kalau nggak, saya nggak mau.” Atto tanya lagi, “Kamu mau bergabung, saya nggak ngajak kan, atas kemauan kamu sendiri kan?”

“Nggak,” jawab Roni, pendek. “Awas jangan salah,” kata Atto, “sedikit pun saya nggak ngajak kamu. Kamu datang atas keyakinan kamu sendiri.” Pada 2008, Roni memutuskan menjadi jemaat Ahmadiyah.

Perilaku Roni berubah tapi juga bingung bagaimana mencari nafkah halal. Atto mengusulkan, “Kamu mau bawa motor?” Roni mengangguk. Dia kredit motor Yamaha MX. Dia datang ke Atto, “Pak, ini motornya nih!”

“Wah, alhamdulillah,” jawab Atto. “Mubarak!”

Mansyur, kakak ipar Roni, menyaksikan perubahan Roni yang dulunya pemadat dan langganan dikejar-kejar polisi. Kontrakan Mansyur dan Jumiyati mulanya satu rumah dengan Roni dan Rahmawati—mereka tinggal di lantai atas sebelum menghuni petak seadanya di kolong jembatan Berok, Penjaringan. Melihat Jumiyati penasaran dengan keimanan Roni, Mansyur berkata, “Ngapain Lu ikutan-ikutan adik Lu? Adik Lu aja nggak bener, Lu ikutan-ikutan dia?!” Tapi kemudian keluarga Mansyur menjadi jemaat Ahmadiyah. Atto bilang kepada saya, pertama kali Mansyur ibadah shalat “ya di sini, di masjid sini,”—merujuk “Baiturrahim.” Mansyur menganggukan kepala.

Saat peristiwa berdarah di Monumen Nasional, 1 Juni 2008, ketika puluhan milisi Islam garis keras menyerang apel damai Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan, Warsono dan Roni Pasaroni justru mendatangi massa penyerang. Mereka mengajak mengobrol, “Kenapa ikut demo kamu? Ada duit nggak buat beli kopi. Ini duit.” Terutama Roni, yang mantan preman, disegani dan punya banyak kenalan. Roni dikenal humoris. Dia suka menghibur tetangga yang sedang kesusahan di Muara Baru. Rahman cerita, jika ada apa-apa, Warsono dan Roni “yang maju terdepan, saya di belakang mereka.”

Semua dekat dengan Warsono dan Roni. Rahman cerita, ada seorang teman sekolah dasar di Kapetakan, lulusan sarjana, bercerita tentang almarhum Warsono, “Kalau masalah pelajaran mah Warsono cerdas. Tapi kalau soal agama, dia mah nol!” Saat ramai pemberitaan insiden Parung 2005, Rahman menimpali obrolan satu temannya, “Wajar diserang, orang nabinya ada 26!” Si teman membalas, “Eh, ingat ya, Lu, ada satu kampung dengan Lu yang ikut Ahmadiyah.” Rahman kaget, “Masak ya?” Si teman menjawab, “Ada. Di Muara Baru!” Kapetakan daerah kecil. Rahman tahu semua teman dia dari Kapetakan yang tinggal di Muara Baru. Dia mendengar nama Warsono.

Dia datangi Warsono. Rahman tipe orang penuh minat besar; dia ingin mendengar langsung dari Warsono, “Bener apa nggak?” Warsono membenarkan. Mereka bahkan mengobrol banyak tentang agama. Rahman berpikir, Warsono yang dia kenal “orang yang kurang dalam soal agama. Kok saya di bawah dia.” Kesan Rahman, “Hebat amat ya!” Rahman justru tertarik. Dia minta bacaan terbitan Ahmadiyah. “Coba kayak apa?” katanya.

Singkatnya, Rahman makin tertarik sesudah membaca khasanah Ahmadiyah. Dia diskusi panjang dengan Warsono. Dia tanya, “Kalau saya ketemu mubaligh Jakarta Barat, bisa nggak?” Warsono jawab, “Bisa!” Rahman berdebat dengan mubaligh Yaqub Suriadi di masjid “Baiturrahim”.

Diskusi-diskusi dengan Warsono, sering berjalan hingga larut pagi, malahan bikin repot istri Warsono. Abdul Atto menjadi penengah; dia bilang menemani seseorang yang gelisah merupakan “ibadah.” Warsono juga kerap kerepotan dengan pertanyaan-pertanyaan Rahman. Atto sering diminta memberi saran.

Penasaran, Rahman pindah ke Muara Baru dari Jembatan Dua, untuk lebih dekat dengan Warsono. Istri Rahman bilang, “Mas, apa-apaan?! Kerjanya di Jembatan Dua kok tinggalnya di Muara Baru?!” Rahman rela pulang malam. Pangkalan ojek dia di Muara baru dan sering naik dua angkutan umum jika pulang kemalaman. Rahman menangkap kesan, Ahmadiyah mengajarkan kedamaian, salah satu yang dia cari, bahkan saat dia marah sewaktu berdebat justru jemaat Ahmadiyah malah “nggak balik marah.”

“Saya tertarik karena yang dia pahami itu yang saya cari, ajaran agama Islam seperti ini!” kata Rahman.

Menurut Atto, Rahman “nggak main-main” belajar tentang Ahmadiyah, “Ngobrol dengan Rahman memang lama! Bukan hanya sebulan-dua bulan.” Pada akhir 2007, Rahman pun bergabung sebagai jemaat Ahmadiyah.

Istrinya mula-mula menentang, “Kenapa kamu ikut?” Rahman menjawab, “Kalau kamu nggak suka dengan aqidah saya, nggak toleran dengan aqidah saya, silakan kamu pulang ke Pemalang.” Itu kampung halaman istrinya; ada paman Rahman, seorang penghulu, akan mengurus istri Rahman. “Jangan takut nggak diurusin,” kata Rahman. “Saya percaya dengan keyakinan saya, yang sudah saya selidiki dari awal.” Istri Rahman akhirnya ikut Ahmadiyah.

Orangtua Rahman tahu anaknya Ahmadi. Ayah Rahman pengikut aliran As-syahadatain, satu agama lokal—sesuatu yang menjelaskan proses osmosis, atau penyerapan, akan persilangan agama dan budaya. Ibunya seorang Nahdlatul Ulama. Ibunya kasih pendapat, “Kalau menurut kamu itu benar, maju terus! Yang penting kamu jangan mencari keributan. Soal aqidah, itu urusan pribadi kamu, jika menurut kamu benar, lanjut!”

Pada akhirnya, semua orang ini saling menguatkan. Rahman kembali mengontrak di Jembatan Dua; istrinya kini tinggal di Kapetakan. Roni Pasaroni, sepulang mengojek, biasa menjemput Rahman yang juga baru kelar menyupir bajaj. Mereka kumpul di rumah Warsono. Mereka menyewa sebuah rumah petak, di samping rumah kontrakan Warsono, dijadikan mushalla untuk shalat berjemaah. Tempat ibadah itu dibikin bersih. Ia juga menjadi lokasi obrolan larut malam antara mereka: Warsono dengan Rahman, Warsono dengan Roni, Warsono dan semuanya; lebih sering bertiga.

Dua minggu sebelum penyerangan di Cikeusik, Roni dan Warsono sesekali menyinggung tentang syuhada. Dalam satu obrolan, Roni tanya kepada Rahman, “Kalau syahid tuh bagaimana?”

“Wah, orang kayak kamu mah nggak mungkin, Ron,” Rahman menjawab tanpa beban. Dia merujuk satu contoh khilafah Sayyidina Umar bin Khattabb, yang tewas dibunuh. “Kamu…” kata Rahman, bercanda, “Gimana bisa syahid?!”

Tahu kemudian Roni tewas di Cikeusik, 6 Februari 2011, Rahman mengingat perkataan itu. Dia bilang kepada saya, “Syahid dan nggak syahid itu hak Allah. Itu kan karunia. Saya tidak merasa bersalah akhirnya.”

Jenazah Roni, dari hasil visum, mengalami patah berkeping—tulang-tulang dia hancur. Ada luka di rahang. Ada lecet geser di bagian tulang iga. Rahang atas kepala patah. Ada resapan darah di kepala. Punggung bawah dia menunjukkan luka sayat; tanda dia disabet dengan benda tajam selagi dikeroyok.

Sementara pada jenazah Warsono, kepalanya sobek. Ada lecet geser di bagian dada, yang menunjukkan dia diseret sewaktu ajal mendekat. Ada pendarahan di kepalanya. Saat tubuhnya tak bernyawa, para penyerang masih melukai bagian zakar dengan benda tumpul.

Abdul Atto cerita, empat hari sebelum meninggal, Roni datang ke rumahnya, masih bertanya tentang menjadi syuhada. Esoknya, Roni pinjam motor. Pada Sabtu, 5 Februari, pukul 10 pagi, Roni mengembalika motor tersebut. Mardiyah, istri Atto, sedang pulang ke Cisalada, aktivitas rutin saban bulan yang dilakukan bergantian keluarga ini. “Ron, nggak ada ibu nih, nggak ada yang masak. Kamu belikan makan ya?” Atto memberikan lembaran Rp 50ribu, “Nasi padang dong, enak nih!” Mereka makan bersama. Mendekati zuhur, Roni pamit, hendak pergi ke masjid “Baiturrahim” .

“Udah kamu saja,” kata Atto, “Saya kan jaga warung.” Atto melihat Roni hingga kelokan jalan. Atto sempat menyahut, “Ron, tadi ada kembaliannya?”

“Ada nih, Pak, 28 ribu.”

“Begini, saja, uang itu kamu simpan. Kalau kamu nemenin bapak, ke sini saja. Kalau kamu mau pulang langsung dari masjid, ya silakan.” Roni tak kembali ke rumah Atto. Esok siang, pukul 14:00, Atto kaget mendengar Roni meninggal diibunuh. Senin sore, Atto mengetahui korban tewas yang lain adalah Warsono. Istrinya, Mardiyah, menangis sepanjang hari selama sebulan.
KAMI mendatangi keluarga Roni Pasaroni dan Warsono di Muara Baru. Jumiyati, saat itu sedang main ke rumah Abdul Atto, menjadi pengarah jalan. Kami naik bajaj dengan supir Rahman. Rahman mengenakan kemeja hitam bersih sesudah shalat Jumaat; rambutnya pirang, lelaki ini merantau ke Jakarta dari tahun 1995. Kami menuju Tanah Pasir ke rumah kontrakan Erni Jaeroni, istri almarhum Warsono. Namun Erni tak ada di rumah, menjemput anaknya yang masih sekolah di Muara Baru. Kami lanjutkan ke rumah Rahmawati, istri almarhum Roni. Selagi Wati menceritakan suaminya, Erni datang sesudah ditelepon oleh Jumiyati. Dia membawa ketiga anaknya. Merliana, putri sulung Erni, masih bekerja di pabrik udang.

Almarhum Roni lahir dari keluarga perantauan Makassar; lahir di Jakarta, 33 tahun lalu. Pada Lebaran tahun 2010, dia diajak mudik ke rumah orangtua Rahmawati di Jeneponto. Ini kunjungan pertama Roni setelah mereka menikah. Itu juga kunjungan terakhir baginya.

Jumiyati dan Rahmawati bilang “ikhlas” adik dan suaminya meninggal. “Yah… mau gimana?” ujar Jumiyati. Roni pernah berpesan kepada Rahmawati, “Anak-anak jangan dimarahin…”—“mungkin dia ingat masa kecil dia yang nakal,” ujar Jumiyati. Mereka heran kenapa Ahmadiyah diserang, “Shalatnya sama, Al Quran yang dibaca sama.”

Erni Jaeroni kerap menangis saat anak-anaknya sudah tidur. Warsono sempat berkata kepada Erni, “Kalau saya meninggal nanti, makam saya jangan diapa-apakan, pakailah cara Ahmadiyah, dikubur sederhana saja.”

Pada 22 Februari, dia pindah diam-diam ke Tanah Pasir, tak tahan lagi dengan gunjingan tetangga dan orang-orang sekitar. Di Muara Baru, ada anggota-anggota Forum Betawi Rembug maupun Front Pembela Islam. Mereka sesekali mengancam sambil lalu saat lewat di depan rumah kontrakan dia, dengan kata-kata kasar seperti “bakar” maupun “hancurin.” Anak ketiganya, Tri Ayu Lestari, sering memanggil “Bapak… Bapak..” saat lihat seseorang adzan maghrib di televisi.

Lima hari setelah Warsono meninggal, rumah petak yang dijadikan mushalla kembali berfungsi rumah kontrakan. Tak ada lagi tempat ibadah bersama bagi jemaat Ahmadiyah di Muara Baru. Sesuatu telah berubah.

Erni dan Rahmawati menghindari nonton berita dari televisi setelah kejadian Cikeusik. Mereka juga belum pernah melihat video kekerasan itu. Rahman, yang duduk bersandar di dekat pintu, menyergah, “Jangan… Jangan nonton!” Rahman langsung mengunduh dari internet saat video penyerangan serta pembunuhan itu tersebar via YouTube. Dia “sangat terpukul” melihat dua sahabatnya dibunuh secara brutal.

Rahman kembali ke Jakarta pada 1 Maret 2011. Dia masih berkabung, “sudah tidak ada teman mengobrol lagi,” katanya. Dia sering datang ke Muara Baru untuk diskusi agama dengan Roni dan Warsono. Bahkan dia baru narik bajaj lagi sewaktu mengantar kami bertemu keluarga almarhum.

Mardiyah, istri Abdul Atto, yang telah menganggap Roni dan Warsono sebagai keluarga sendiri, baru bisa berhenti menangis setelah bertemu Imron sehari sebelum kami tiba.

Saya datang saat ada rencana dari keluarga ini berziarah ke makam Warsono dan Roni di Gondrong. Tati Apriani, anak bungsu Roni, bertanya, “Ma, katanya mau ke Papa? Kapan?”

Rahmawati bertanya balik ke Jumiyati, “Eh jadi besok ke Gondrong?”

“Jadi!” kata Jumiyati, dengan suara yang mekar. Tati ikut menimbrung, “Kemana, Ma?”

“Jenguk Papa!” kata Tante Ati.

“Asyiik!”

Tati melonjak-lonjak di pangkuan Mama dia, berteriak girang.*

source: indoprogress.com

Selasa, 15 Maret 2011

Syarat-syarat Bai'at masuk kedalam Jemaat Ahmadiyah

Orang yang bai’at berjanji dengan hati yang jujur bahwa :

1. Di masa yang akan datang hingga masuk ke dalam kubur senantiasa akan menjauhi syirik.
2. Akan senantiasa menghindarkan diri dari segala corak bohong, zina, pandangan birahi terhadap bukan muhrim, perbuatan fasiq, kejahatan, aniaya, khianat, mengadakan huru-hara, dan memberontak serta tidak akan dikalahkan oleh hawa nafsunya meskipun bagaimana juga dorongan terhadapnya.
3. Akan senantiasa mendirikan shalat lima waktu semata-mata karena mengikuti perintah Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, dan dengan sekuat tenaga akan senantiasa mendirikan shalat Tahajud, dan mengirim salawat kepada Junjungannya Yang Mulia Rasulullah s.a.w dan memohon ampun dari kesalahan dan mohon perlindungan dari dosa; akan ingat setiap saat kepada nikmat-nikmat Allah, lalu mensyukurinya dengan hati tulus, serta memuji dan menjunjung-Nya dengan hati yang penuh kecintaan.
4. Tidak akan mendatangkan kesusahan apa pun yang tidak pada tempatnya terhadap makhluk Allah umumnya dan kaum Muslimin khususnya karena dorongan hawa nafsunya, biar dengan lisan atau dengan tangan atau dengan cara apa pun juga.
5. Akan tetap setia terhadap Allah Ta’ala baik dalam segala keadaan susah ataupun senang, dalam duka atau suka, nikmat atau musibah; pendeknya, akan rela atas keputusan Allah Ta’ala. Dan senantiasa akan bersedia menerima segala kehinaan dan kesusahan di jalan Allah. Tidak akan memalingkan mukanya dari Allah Ta’ala ketika ditimpa suatu musibah, bahkan akan terus melangkah ke muka.
6. Akan berhenti dari adat yang buruk dan dari menuruti hawa nafsu, dan benar-benar akan menjunjung tinggi perintah Al-Qur’an Suci di atas dirinya. Firman Allah dan sabda Rasul-Nya itu akan menjadi pedoman baginya dalam tiap langkahnya.
7. Meninggalkan takabur, sombong; akan hidup dengan merendahkan diri, beradat lemah-lembut, berbudi pekerti yang halus, dan sopan-santun.
8. Akan menghargai agama, kehormatan agama dan mencintai Islam lebih dari pada jiwanya, hatanya, anak-ananknya, dan dari segala yang dicintainya.
9. Akan selamanya menaruh belas kasih terhadap makhluk Allah umumnya, dan akan sejauh mungkin mendatangkan faedah kepada umat manusia dengan kekuatan dan nikmat yang dianugerahkan Allah Ta’ala kepadanya.
10. Akan mengikat tali persaudaraan dengan hamba ini "Imam Mahdi dan Al-Masih Al-Mau’ud" semata-mata karena Allah dengan pengakuan taat dalam hal makruf (segala hal yang baik) dan akan berdiri di atas perjanjian ini hingga mautnya, dan menjunjung tinggi ikatan perjanjian ini melebihi ikatan duniawi, baik ikatan keluarga, ikatan persahabatan ataupun ikatan kerja.

Diterjemahkan dari "ISYTIHAR TAKMIL TABLIGH"

Source: ahmadiyya.or.id

Cantiknya Wanita Surga

Seandainya seorang wanita ahli Surga itu ditempatkan ke bumi, pastilah ia memenuhi bumi itu dari harumnya minyak wangi kasturi dan sungguh ia menghilangkan cahaya matahari dan bulan (Ath-Thabrani dalam Al-Kabir dan Adh-Dhiya’ dari Sa’id bin Amir ra dan Kanzul-Umal, Juz XIV/39315)
Sesungguhnya seorang wanita ahli surga itu putih betisnya benar-benar terlihat dari balik 70 pakaiannya, bahkan sumsumnya terlihat; Hal itu karena Allah Ta’ala berfirman: “Seakan-akan mereka itu merah delima dan mutiara” (55:59). Adapun yaqut, sebenarnya adalah batu, jikalau engkau memasukkan siwak ke dalamnya, kemudian engkau mengambilnya, pasti engkau melihatnya dari baliknya (At-Turmudzi dari Ibnu Mas’ud ra dan Kanzul-Umal, Juz XIV/39330)

Source: abdulrozzaq.blogspot.com

ABDUL BASIT, AMIR NASIONAL JEMAAT AHMADIYAH INDONESIA: KAMI TIDAK PERNAH DIAJAK DIALOG

Kekerasan atas nama agama yang menimpa warga Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Cikeusik, Banten, 6 Februari lalu, berbuntut lahirnya peraturan daerah yang diskriminatif. Peraturan itu muncul dari Jawa Timur dan Jawa Barat. Kedua gubernur itu sama-sama menerbitkan peraturan yang melarang aktivitas Ahmadiyah.

Ketua Umum Pengurus Besar, atau kerap disebut Amir Nasional JAI, Abdul Basit, heran dengan munculnya peraturan daerah yang dinilai tidak jelas itu. “Apa yang dimaksud aktivitas?” katanya saat ditemui di Kantor Pusat JAI di Kompleks Kampus Mubarok di Kemang, Parung, Bogor, Jawa Barat, Rabu lalu. Dia menampik penilaian bahwa aktivitas Ahmadiyah telah mengganggu ketertiban. “Aktivitas kami, ya, hanya salat di masjid,” ujarnya.

Basit, yang sejak lahir menganut paham Ahmadiyah, telah empat periode memimpin organisasi keagamaan yang berpusat di London, Inggris, ini. Basit menjadi Amir Nasional sejak 2002. Warga Bandung, Jawa Barat, ini menempa ilmu agama sejak kuliah di Rabwah, Pakistan. Basit meneruskan peran ayahnya, yang juga mubalig di Ahmadiyah. Namun karier Basit lebih moncer ketimbang sang ayah. Bapak lima anak ini pernah mengemban tugas dakwah di Thailand, Malaysia, Singapura, dan Inggris.

Kini Basit dan keluarganya tinggal di Kantor Pusat Jemaat Ahmadiyah Indonesia di kompleks seluas 3,5 hektare itu. “Sebagian besar pengurus besar tinggal di kompleks ini,” katanya. Dari kawasan yang sepi, indah, dan asri ini Basit memimpin jemaahnya. Salah satunya, menyelesaikan persoalan yang membelit jemaah belakangan ini.

Di ruang guest house, Basit ditemani mubalig lokal Rakeeman R.A.M. Jumaan, mubalig lokal Naib atau Wakil Amir Mirajudin Sahid, serta anggota staf redaksi buletin Darsus, Sukma Fadhal Ahmad, menuturkan perasaan dan sikap Jemaat kepada Akbar Tri Kurniawan dan fotografer Yosep Arkian dari Tempo. Suguhan yang menghangatkan pagi itu berupa teh tarik ala Pakistan dan beberapa kudapan. Obrolan berakhir di meja makan untuk santap siang dengan menu kare India, irisan buncis dan wortel, serta sambal.

Belakangan ini beberapa pemerintah daerah menerbitkan peraturan daerah melarang aktivitas Ahmadiyah. Bagaimana tanggapan Jemaat Ahmadiyah Indonesia?

Kami mendapat penjelasan dari kantornya Bang Buyung (pengacara senior Adnan Buyung Nasution, yang mengonsep Surat Keputusan Bersama 3 Menteri tentang Ahmadiyah) bahwa tidak ada pembekuan. Okelah itu ranah hukum. Ketika (SKB) ini diambil sebagai bahan rujukan untuk melarang Ahmadiyah, sudah jauh menyimpang. Seperti (peraturan daerah) yang di Jawa Timur dan lainnya, kurang-lebih sama isinya: “Dilarang beraktivitas”. Itu pun tidak jelas aktivitas itu. Seingat kami, warga kami ini, di masjid, ya, ibadah. Salat lima waktu. Pas Jumat, ya, jumatan, tadarus kalau ada. Apa yang mesti dilarang? Saya heran. Padahal jelas perintahnya “Hai manusia, beribadahlah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu.” Disuruh beribadah. Kenapa melarang itu, apa yang tidak boleh?

Ada tanggapan lain?

Kami ini masih berbadan hukum. Sudah lama (ada). Tidak ada pembubaran dan pelarangan. Lalu, atas dasar apa kami dilarang? Makanya belum jelas, banyak pernyataan dari Menteri Dalam Negeri memicu protes. Bukan dari kita, tapi pakar hukum. Yang tidak boleh itu apa? Kalau tidak salah, Mendagri bilang ibadah tidak dilarang. Tapi di berbagai tempat, di daerah kecil tidak boleh. Jadi, yang begini-begini efeknya, susahnya nanti sesuka-sukanya. Ada aparat desa, aparat kecamatan melarang semua. Rujukannya ke situ, karena di situ dituliskan segala aktivitas.

Aktivitas apa yang tidak boleh?

Makanya kita harus merujuk SKB yang dibuat bareng. Kita lihat di lapangan ini banyak orang tidak tahu SKB. Pemerintah tidak paham, jadi begitulah. Kita selalu sosialisasikan bahwa itu (SKB) harus cermat dibaca. Sehingga bisa menarik kesimpulan mana yang boleh dan tidak boleh. Kalau hanya aktivitas saja, kan bisa disalahartikan. Yang namanya ibadah kan bukan aktivitas.

Organisasi harus bersosial, tapi kami tidak boleh beraktivitas. Ini rancu. Ada satu larangan dalam surat di Jawa Barat, kami tidak boleh memakai atribut JAI. Di Jawa Timur juga begitu. Tapi kami ini ikut peraturan berorganisasi oleh negara bahwa organisasi yang berbadan hukum harus memasang papan nama organisasi massa. Bahkan kalau kantor pusat ukurannya berapa, kalau di cabang berapa, disebutkan, begitu aturannya. Ketika ada larangan itu, mereka sendiri yang mau menurunkan, silakan saja!

Waktu di DPR, Anda dan anggota Dewan bersepakat lebih banyak menggelar dialog di pusat dan daerah. Apakah dialog juga dilakukan di tingkat bawah?

Selama ini kita hampir tidak pernah diajak (dialog), di mana-mana. Jadi seolah-olah pemutusan sepihak. Jadi begini, ini kan ada dua. Satu ranah hukum dan ranah teori. Di daerah-daerah, kami hampir tidak pernah diajak dialog. Tampaknya mereka ini di sana-sini memutuskan begitu. Ya, kita mau apa dengan yang begini. Kemarin dengar pendapat (dengan DPR) kami tidak bisa menjelaskan keseluruhan. Makanya, salah satu opsi yang kita ajukan, ajaklah kami berdialog. Karena, ketika kita mempunyai tindakan yang sama, hukum yang sama, Al-Quran dan Sunnah, kalau ada perbedaan lebih senang kita berdialog. Nanti akan ketemu titik temunya di mana, akan lebih mengerucut dan lebih jelas. Tapi kalau sudah diketok, tidak usah (dialog), susah juga kita. Kalau begitu, bangsa ini akan menjadi bangsa yang jumud.

Bagaimana Ahmadiyah di negara tetangga?

Kalau di Malaysia, kami tidak dianggap orang Islam. Tapi di sana hukum berjalan tegas. Ya, sudahlah. Kami tidak pernah dilarang, apalagi untuk beribadah, mengadakan pertemuan tahunan. Tidak pernah seperti itu. Selama kita beraktivitas di tempat sendiri, kadang kita sewa untuk berkumpul. Di sana polisi tegas. Jadi, kalau ada apa-apa, misalnya ada yang mau protes merusuhi, polisi langsung bertindak. Saya lama di sana. Kalau kami mengadakan acara begini-begini, oke. Lapor biasa saja, acaranya apa, oke, jalan. Tidak ada yang mau mengusik kita, merusak. Mereka mengatakan tegas, “Polisi itu urusannya keamanan. Urusan keyakinan bukan urusan kami (polisi).” Ini kan masalah keyakinan, tidak bisa digunakan hukum positif. Dipaksakan tidak bisa. Urusan negara adalah urusan ketertiban. Urusan keimanan, nanti hisabnya dengan Allah SWT.

Kami ini tersebar di 180 negara, di Eropa, Afrika. Kami tidak akan bertentangan di Barat dan di mana-mana. Selama mereka warga negara dari satu negara, kami wajib taat pada hukum negara.

Bagaimana JAI memproses badan hukum?

Lancar saja. Tidak ada apa-apa, akhir-akhir ini saja setelah reformasi. Kami memproses badan hukum tahun 1953. Ada dokumennya.

Daerah mana yang luwes menerima keberadaan Ahmadiyah?

Yogyakarta, Jawa Tengah, itu sangat terbuka, sudah puluhan tahun bergaul dengan masyarakat. Di daerah-daerah seperti Papua, Sulawesi Utara, daerah-daerah yang masyarakatnya majemuk. Rata-rata yang keras itu di daerah Jawa Barat.

Bagaimana hubungan Jemaat dengan warga sekitar?

Biasa saja. Seperti di Manis Lor (Kuningan), lurahnya saja dari kita. Di perbatasan Garut dan Sukabumi juga banyak warga Ahmadiyah. Mereka menyatu ikut membangun desa. Ada yang jadi guru di berbagi bidang, macam-macam. Di Wonosobo biasa-biasa saja. Yang merusuhi tanah-tanah kita, ya, orang-orang dari luar daerah itu. Kita kalau membangun apa-apa, ya, mendahulukan orang di sekitar untuk bekerja.

[Naib Amir Mirajudin Sahid menambahkan: Di Banjarnegara, lurah dari Ahmadiyah diangkat sampai empat kali. Awalnya memang dihujat karena Ahmadiyah.]

Bagaimana menyikapi peraturan daerah itu?

Saya hormati itu semua. Saya selalu menganjurkan kepada warga Ahmadiyah, coba pelajari dulu itu (peraturan daerah), terus dari situ teruskan seperti ibadah. Sikapi dengan bijaksana dan teruskan aktivitas seperti biasa, karena kami selama ini tidak pernah melanggar undang-undang. Aktivitas kami baik secara institusi sekalipun, dari dulu. Dan Anda bisa lihat track record kami di berbagai negara. Kami tidak pernah ada sesuatu yang melanggar hukum. Makanya, di awal saya mengatakan: coba saja aktivitas kami ini apa selain tarbiyah (belajar) itu saja. Karena itu, apa pun larangannya, kita terus jalan saja. Masak, ketika di jalan kami tidak boleh ibadah.

Apa yang dikhawatirkan dari peraturan daerah itu?

Aturan ini sering disalahgunakan. Makanya diprotes oleh pakar hukum. Dengan begini, akan seenaknya main hakim sendiri, ini sekte atau apa. Ada kejadian di beberapa tempat. Ada satu tempat di Palu, di sana ada beberapa keluarga Ahmadiyah, mendirikan musala, ukurannya kecil. Tiap hari ya biasa salat lima waktu, belajar mengaji, anak-anak. Lalu datang aparat dari desa, melarang kami memakai musala, ibadah (diminta) di rumah saja. Kayak model-model seperti itu. Yang kami tangkap, seluruh aktivitas tidak boleh.

Apakah akan menguji secara hukum perda itu ke Mahkamah Konstitusi?

Kalau memungkinkan, kenapa tidak? Kan peraturan itu berkategori (hierarki), jadi bisa di-judicial review di Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung. Yang begini-begini kami usahakan. Dan ini kami limpahkan ke kuasa hukum, ada Lembaga Bantuan Hukum. Kami juga berkonsultasi dengan Adnan Buyung Nasution. Yang kami tuntut mungkin satu saja. Advokasi kami terus jalan. Jadi, tidak akan semua perda kami ajukan. Cukup satu saja, bisa Jawa Timur dan Jawa Barat, ini masih proses.

Tindak kekerasan sudah sering, bagaimana Anda menyiapkan mental keluarga?

Ya, saya yakin hukum masih ditegakkan. Soal keamanan dan ketertiban segera dikoordinasikan dengan aparat. Itu saja. Kan masih ada Allah SWT. Secara pribadi, kami tidak melanggar apa-apa. Jadi, apa yang harus kami takutkan?

Ada instruksi khusus kepada jemaah menghadapi situasi yang berkembang seperti ini?

Kami anjurkan untuk banyak berdoa, percaya kepada Allah, ancaman ini serahkan kepada aparat polisi atau tentara. Kalau kita tidak melapor, kita juga salah. Jangan mengambil hukum di tangan sendiri. Jadi, kalau dibilang bentrok, tidak ada bentrok. Kita yang diserang. Ini kan disorot dunia internasional.

Anda berusaha meraih simpati masyarakat internasional?

Tidak usah kami sebarkan, berita ini sudah menyebar. Kami tak perlu ngomong, orang lain tahu. Kan banyak yang protes ke kedutaan. Selain itu, ada juga lembaga Amnesty International. Kemudian banyak lagi non-governmental organization yang sangat concernterhadap hal-hal seperti ini. Jadi, kami tidak minta, mereka mencari sendiri.

Misi apa yang menjadi fokus dari Ahmadiyah pusat?

Kalau di sini, kami banyak resistensi. Untuk izin rumah sakit kesehatan, susahnya setengah mati. Kalau di negara Afrika, malah pemerintah yang menyediakan tanahnya. Rumah sakit dan sekolah kami banyak di Afrika. Di sana kami masuk pada 1930-an. Waktu itu Afrika sangat terbelakang. Karena hasilnya bagus, resistensi kepada kita kurang. Di sana kami juga menyediakan air minum, solar cell, itu kita buat. Tapi tidak cari untung. Di negara berkembang juga banyak permasalahan kesehatan mata, kami datangkan pakar-pakarnya.

Di Indonesia?

Kami belum sampai situ, karena masih (ada) resistensi. Paling cuma sekolah, itu pun beberapa diganggu. Kalau membuka, pasti bisa. Bukan untuk bangga, tapi kami ingin bisa berbuat sesuatu untuk bangsa ini. Kita mau mendirikan klinik di depan kompleks ini saja susahnya setengah mati.

Ketika mengadakan kegiatan sosial, JAI tidak menyebutkan nama?

Lihat kondisinya. Ada yang bergabung dengan Fatayat NU. Contohnya, ketika ada (kegiatan) Go Green, kami siapkan 125 ribu bibit di berbagai tempat, wakil pemerintah juga datang. Kami juga meminta setiap orang Ahmadiyah menanam itu.

Tidak usah jauh-jauh, kami itu organisasi terbesar yang melakukan donor mata di Indonesia. Sehingga Ketua Bank Mata Jakarta mengatakan, kalau tidak ada Ahmadiyah, ini sudah bangkrut. Donor darah juga termasuk nomor dua organisasi yang menyumbangkan. Tanya saja ke Palang Merah Indonesia Manis Lor, Kuningan. Berapa banyak yang rutin donor darah. Sampai-sampai, kalau orang kekurangan darah, datang ke Manis Lor, tidak usah bayar, kami siap. Rutin kami adakan donor darah dan mata.

Berapa yang sudah mendonorkan mata?

Kami targetkan 10 ribu donor, sekarang sekitar 6.000. Kapan pun kalau meninggal dan mendonorkan mata, silakan saja diambil. Ini anjuran, amal jariyah.

Bagaimana perjalanan Ahmadiyah selama ini?

Semua ada plus-minusnya. Tapi warga Ahmadiyah menilai zaman Sukarno oke. Keadaan masyarakatnya lebih santun. Saya sudah 60 tahun hidup di sini. Sejak kecil saya hidup di Garut. Teman akrab saya itu dari NU, Muhammadiyah, dan Persis. Tetapi tidak ada itu mencerca. Hampir semua datang ke rumah berdialog. Orang NU yang mendirikan IAIN Sunan Gunung Jati itu akrab dengan ayah saya. Jadi, hampir tidak ada mencerca. Mereka santun. Bisa berbeda tetapi tetap bermasyarakat. Kalau zaman Soeharto, tahu sendiri penegakan hukumnya, tidak usah cerita lagi, semua tahu (tertawa). Sekarang ini, ya, begini.

Cerita miris seperti apa lagi yang dialami Ahmadiyah sekarang?

Ada satu kejadian di Manis Lor, warga Ahmadiyah yang mau menikah ditolak oleh Kantor Urusan Agama. Di Lombok, ketika warga Ahmadiyah mengungsi, tidak diberi kartu tanda penduduk. Sampai anak-anaknya mau bersekolah, susah; mau ke puskesmas, susah. Jadi, alasannya macam-macam. Kualitas aparat di daerah ini tidak bisa membedakan dirinya sebagai aparat yang digaji dengan duit pajak. Warga Ahmadiyah juga bayar pajak. Jadi, bias pribadinya ikut, bukan sebagai pelayan. Itu kan hak sipil, warga Ahmadiyah adalah warga Republik Indonesia.

Yang dilarang menikah jadinya tetap menikah tanpa hukum negara?

Tidak. Kami cari KUA yang mau. Pergi ke kecamatan tetangga, minta nikah.

Kalau yang tidak diberi KTP?

Ya, bingung. Kalau kita mau diusir, ya, pasti pemerintah bakal repot dan ribut sendiri.

Apa kegiatan Anda?

Kalau pagi-pagi, ya, saya cek surat, e-mail, lalu membalasnya. Kalau keluar, ya, paling kunjungan ke daerah. Saya sudah sebulan lebih tidak keluar karena situasi seperti ini. Sekali kunjungan bisa seminggu. Banyak daerah yang perlu dikunjungi. Kami selalu berhubungan dengan Khalifah di London. Kalau tidak pagi, ya, sore. Kantor pusatnya itu mengikuti Khalifah. Di mana Khalifah berada, di situlah kantor pusatnya. Kebetulan sekarang ada di London.

Apa perintah Khalifah atas kejadian di Cikeusik?

Banyak berdoa, tingkatkan ibadah, hubungan umat harus ditingkatkan. Jalin hubungan dengan masyarakat, termasuk pemerintah. Kan banyak informasi yang salah dan harus dibenarkan. Selalu bersikap santun.

Apa hikmah dari peristiwa Cikeusik?

Kami bisa lebih dewasa. Anggota kami juga lebih khusyuk ibadahnya, lebih banyak berdoa. Tarbiyah itu ada yang singkat dan lambat. Dengan kejadian ini, orang-orang kami makin kuat, lebih solid persaudaraannya. Di Afrika Barat, kami mempunyai Rumah Misi. Ini sebutan kami, yang isinya ada masjid, kompleks perumahan, sekolah, perpustakaan. Ada kiai yang datang ke rumah mubalig kami. Video Cikeusik itu diputar, entah mereka dapatkan dari mana, kan itu sudah tersebar di YouTube. Tidak sampai satu menit, kiai itu mengatakan “stop-stop”. Inilah Ahmadiyah yang sedang dibunuh. Lalu kiai mengatakan, “Apakah ini orang Islam, dan mereka melakukan pembunuhan ini atas nama Islam dan Rasulullah dan Allah SWT?”

Anda menonton video Cikeusik?

Saya tidak berani. Sangat sadis sekali. Apa Islam seperti ini? Tapi (tahu) dari berita dan cerita, dan saya berjumpa dengan yang jadi korban dan saksi.

Apa yang Anda lakukan saat peristiwa itu terjadi?

Pada saat kejadian itu, saya tidak tidur tiga hari. Mencari tempat untuk mengungsikan (jemaah). Kita meminta tolong ke LBH, menolong dan mengeluarkan yang terkurung. Bagaimana memberi konseling untuk anak-anak yang melihat. Ini sangat traumatik. Kami pindahkan terutama ibu dan anak-anak. Sekarang kami kosongkan.

Anda menjadi amir sudah berapa periode?

Empat kali saya terpilih sejak 2001. Satu periode tiga tahun. Kita ini ada majelis syura tingkat nasional. Musyawarah nasionalnya setiap tahun, tapi untuk pemilihan ketuanya tiga tahun sekali. Setelah dipilih, dikirim ke pusat disetujui atau tidak.

PRESS RELEASE DPW JAMAAH AHMADIYAH JAWA TENGAH

PRESS RELEASE

DPW JAMAAH AHMADIYAH JAWA TENGAH



Tanggapan Atas Berita Suara Merdeka, Jumat (11/03), hal. 2 berjudul :

Habib Lutfi Ajak Ahmadiyah Kembali ke Ajaran Yang Benar



Terkait berita harian Suara Merdeka, Jumat (11/03), hal. 2, berjudul, Habib Lutfi Ajak Ahmadiyah Kembali ke Ajaran Yang Benar, kami sampaikan tanggapan sbb :



1. Jemaah Ahmadiyah Jateng mengucapkan Al-hamdulillah, terimakasih dan Jazakumullah ahsanal Jaza, kepada Habib Lutfi yang telah berkenan mengajak kami warga Ahmadiyah kembali kepada ajaran syariat Islam yang benar. Dibanding dengan fatwa MUI yang menyatakan Ahmadiyah bukan Islam, sesat dan menyesatkan, kemudian mendesak pemerintah agar membuabrkan Ahmadiyah, ajakan Habib Lutfi, sungguh sejuk sekali, dan perlu di apresiasi.
2. Namun, hemat kami, ajakan Habib Lutfi salah alamat jika ditujukan kepada warga Ahmadiyah yang tergabung dalam Jamaah Ahmadiyah Indonesia.
3. Warga Ahmadiyah yang tergabung dalam Jamaah Ahmadiyah Indonesia, sejak semula meyakini Islam sebagai agama, berpedoman kepada Al-Quran dan Sunnah Rasulullah SAW., berakidah sesuai dengan akidah enam rukun iman, dan beribadah sesuai dengan lima rukun Islam. Syahadat Ahmadiyah, dua kalimah, yaitu : Asyhadu al-laa ilaaha ilallaahu, wa asyhadu anna Muhammadar-rasulullaahu. Tidak ada yang namanya Ajaran Ahmadiyah, seluruh amalan dari Jemaah Ahmadiyah adalah Ajaran Islam berdasarkan Al-Quran dan Sunnah Rasulullah SAW,.
4. Sejak Ahmadiyah berdiri (23 Maret 1889), di Indonesia sejak 1925, hingga saat ini, setiap orang yang hendak menyatakan bergabung kedalam Jemaah Ahmadiyah, diwajibkan untuk menyatakan ikrar bai’at – berjanji bersumpah setia, sbb : 1) Di masa yang akan datang hingga masuk ke dalam kubur senantiasa akan menjauhi syirik, 2) Senantiasa akan mengindarkan diri dari segala corak bohong, zina, pandangan birahi terhadap bukan muhrim, perbuatan fasiq, kejahatan, aniaya, khianat, mengadakan huru-hara, dan memberontak serta tidak akan dikalahkan oleh hawa nafsunya meskipun bagaimana juga dorongan terhadapnya, 3) Senantiasa akan mendirikan shalat lima waktu semata-mata karena mengikuti perintah Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, dan dengan sekuat tenaga akan senantiasa menegakkan shalat tahajjud, dan mengirim salawat kepada Junjungannya Yang Mulia Rasulullah Muhammad S.A.W.,…….4) Benar-benar akan menjunjung tinggi perintah Al-Qur’an Suci di atas dirinya. Firman Allah dan Sabda Rasul-Nya itu akan menjadi pedoman baginya dalam tiap langkahnya.......5) Akan menghargai agama, kehormatan agama dan mencinatai Islam lebih daripada jiwanya, hartanya, anak-anaknya, dan dari segala yang dicintainya………dll
5. Jika ukuran Islam yang benar adalah meyakini Nabi Muhammad S.A.W., sebagai Khaataman-Nabiyyin - nabi terakhir, tidak ada lagi nabi sesudahnya, Jemaah Ahmadiyah sejak Ahmadiyah berdiri (23 Maret 1889), di Indonesia sejak 1925, hingga saat ini, dan seterusnya, meyakini dengan teguh, Rasulullah Muhammad S.A.W., adalah Khaataman-Nabiyyin - nabi terakhir, tidak ada lagi nabi sesudahnya. Pendiri Ahmadiyah berkata : “Sebab itu, diatas kenabian ini habislah semua kenabian. Memang sudah sepantasnya demikian, sebab sesuatu yang ada permulaannya tentu ada pula kesudahannya”.[1]
6. Tidak hanya itu, Ahmadiyah yang tergabung dalam Jamaah Ahmadiyah Indonesia meyakini dengan teguh, Islam adalah agama terakhir, dan Al-Quran adalah Kitab Suci terakhir. Pendiri Ahmadiyah, berkata : “Tidak ada kitab kami selain Al - Qur’an Syarif dan tidak ada Rasul kami kecuali MuhammadMustafashallallaahu ‘alaihi wasallam. Tidak ada agama kami kecuali Islam dan kita mengimani, Nabi kita, Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam. adalah Khaatamul Anbiya’, dan Al - Qur’an Syarif adalah Khaatamul Kutub.[2]
7. Ahmadiyah yang tergabung dalam Jamaah Ahmadiyah Indonesia bahkan meyakini, karena Rasulullah Muhammad S.A.W., adalah Khaataman-Nabiyyin, maka sesudah beliau S.AW., tidak boleh lagi datang nabi, baik nabi lama – seperti nabi Isa as, yang diyakini umat Islam akan datang di akhir zaman, maupun nabi baru – yang bawa agama baru, kitab suci baru, dan kalimah syahadat baru Nabi Isa as, yang dijanjikan akan datang oleh Rasulullah S.A.W., dalam pemahaman dan keyakinan Ahmadiyah, bukan nabi Isa as yang dahulu – karena nabi Isa as yang dahulu sudah wafat dalam usia 120 tahun[3], melainkan orang lain dari kalangan umat Islam yang di-misal-kan seperti Isa as.[4], atau yang memiliki sepirit Isa as, sehingga ia bergelar Isa as.[5], dan juga menjadi zhillun-Nabi Muhammad S.A.W., - bayangan Nabi Muhammad S.A.W., sehingga kedatangannya tidak merusak “segel” khaataman-nabiyyin Nabi Muhammad S.A.W. ‘Alim-‘ulama juga berpendapat, Nabi Isa as. yang dijanjikan akan datang oleh Rasulullah S.A.W., tidak menghalangi Nabi Nabi Muhammad SAW., sebagai yang terakhir, sebab dia datang hanya akan melaksanakan syariat Nabi Muhammad S.A.W.[6]
8. Dalam kepercayaan Ahmadiyah, meyakini ada lagi nabi baru, yang membawa agama baru, kitab suci baru, dan kalimah syahadat baru, adalah suatu kekufuran dan kesesatan, dan menyimpang dari ajaran Islam.
9. Mirza Ghulam Ahmad, Pendiri Ahmadiyah, dalam keyakinan Ahmadiyah yang tergabung dalam Jamaah Ahmadiyah Indonesia, dalam istilah umum umat Islam dikenal sebagi : al-‘ulama al-warasatul anbiya – ‘ulama pewaris Nabi Muhammad S.A.W., dalam Jemaah Ahmadiyah dikenal sebagai zhillun-nabi Muhammad S.A.W., – bayangan Nabi Muhammad S.A.W, Dalam bahasa Hadits, ia adalah Mujaddid - yang dijanjikan akan bangkit pada setiap permulaan abad [7], atau Al-Masih al-Mau’d, dan Al-Mahdi al-Mauud – Al-Masih dan Al-Mahdi yang Dijanjikan Kedatangannya oleh Rasulullah S.A.W.[8] Keyakinan Ahmadiyah tentang kedatangan Nabi Isa as, di akhir zaman sama dengan keyakinan para ‘ulama dan umat Isam pada umumnya.[9]
10. Sejak tahun 2005, Ahmadiyah di Indonesia ada dua versi. Ada Ahmadiyah versi Ahmadiyah, dan ada Ahmadiyah versi MUI.
11. Ahmadiyah versi Ahmadiyah, meyakini Rasululah SAW., sebagai Khaataman-Nabiyyin (nabi terakhir, penutup segala nabi), dan sepenuhnya berpedoman kepada Al-Quran dan Sunnah Rasulullah SAW,.
12. Sedangkan Ahmadiyah versi MUI, tidak meyakini Rasululah SAW., sebagai Khaataman-Nabiyyin (nabi terakhir, penutup segala nabi), dan meyakini ada lagi nabi yang ke-26, bernama Mirza Ghulam Ahmad, dengan Tadzkirah sebagai kitab sucinya.
13. Ahmadiyah versi Ahmadiyah sangat aktif berdakwah ke seluruh penjuru dunia, mempromosikan Islam sebagai agama yang benar, sempurna dan lengkap, Islam sebagai agama yang toleran dan damai, Islam yang menghargai dan menghormati semua nabi, dan mempropagandakan Al-Quran sebagai Kitab Suci, Kitabullah dan Kalamullah. Untuk keperluan dakwah pula, Ahmadiyah versi Ahmadiyah telah berhasil menterjemahkan Al-Quran ke dalam 100 bahasa besar dunia.
14. Sedangkan Ahmadiyah versi MUI, aktif berdakwah ke seluruh pelosok tanah air, mempropagandakan ada lagi nabi yang ke-26, bernama Mirza Ghulam Ahmad, dan mempropagandakan Tadzkirah sebagai kitab suci Ahmadiyah. Ahmadiyah versi MUI dipropagandakan antara lain oleh : KH. Ma’ruf Amin, KH. Amidhan, KH Umar Sihab, Habib Riziq, Muhammad Al-Khaththat, Amin Jamaluddin, dll.
15. Dalam pandangan Ahmadiyah versi Ahmadiyah (Ahmadiyah yang tergabung dalam Jamaah Ahmadiyah Indonesia), Ahmadiyah versi MUI memang sesat dan menyesatkan, dan layak diajak kemabali kepada ajaran Islam yang benar.
16. Ajakan Habib Lutfi, agar Ahmadiyah kembali kepada ajaran syariat Islam yang benar, sangat tepat jika disampaikan kepada warga Ahmadiyah versi MUI, Ahmadiyah yang dipropagandakan oleh : KH. Ma’ruf Amin, KH. Amidhan, KH Umar Sihab, Habib Riziq, Muhammad Al-Khaththat, Amin Jamaluddin, dll.
17. Demikian Press Release yang kami sampaikan. Atas perhatian Suara Merdeka dihaturkan terimakasih dan Jazakumullah ahsanal Jaza!



Semarang, 12 Maret 2011

DPW Ahmadiyah Jawa Tengah

Ttd

(H.M. Arief Syafi’ie)

Ketua

Senin, 14 Maret 2011

Police, Military ‘Intimidate’ Bogor Ahmadis to Convert

Police and military officers in West Java have coerced Ahmadiyah members into renounce their faith through bribery and intimidation, two groups said on Sunday.

Firdaus Mubarik, a spokesman for the Indonesia Ahmadiyah Congregation (JAI), said he had received reports from Ahmadis across West Java that police and military officers had been visiting their homes, asking them to sign sworn statements renouncing their faith.

The allegation comes on the same day that a group of 40 demonstrators broke into an Ahmadiyah mosque in Cipeuyeum, West Java, and burned the group’s religious books.

“Police were there. The mob did not destroy the mosque or clash with the Ahmadis,” said Asep Isamudin, head of the JAI in Cianjur district.

“They burned the books and the Korans because they believe Ahmadiyah is in violation of the joint ministerial decree and the recently issued gubernatorial decree banning the activities of the sect in West Java,” he said.

Firdaus said at least seven Ahmadis previously residing in the village of Leuwisadeng, located some six kilometers from Ciaruteun Udik, the scene of an attack on Friday that damaged houses owned by Ahmadis, had relocated to Bogor.

“They were intimidated into signing a statement,” he said. “They feared for their lives.

“The village administration head also informed them that if they insisted on remaining Ahmadis, it would be difficult for them to get their ID cards processed, and to get their children an education.

“The Ahmadi villagers were also offered up to Rp 150,000 [$14)] to renounce their beliefs.”

Safwan Adnan, head of the West Java branch of the JAI, said that similar tactics were occurring in Majalengka and Tasikmalaya, both in the province.

He said that on Friday, 40 police and military officers from Bandung, accompanied by members of the West Java branch of the Indonesian Council of Ulema (MUI), arrived at Ahmadiyah’s Mubarak Mosque in Bandung.

“They said they wanted to lead the Friday prayers,” he said. The Ahmadis, he added, rebuked the group.

“They were showing off, trying to prove that they had managed to convert followers of Ahmadiyah,” he said.

Muhammad Isnur, from the Jakarta Legal Aid Foundation, said that Ahmadis in Ciareteun and Leuwisadeng were rounded up on Saturday.

“They were briefed by the Bogor Police, officers from the regional military command and the village’s ulema, among others, on the contents of the new gubernatorial decree,” he said.

Even though the decree itself is unconstitutional, he said, the Ahmadis were advised to obey.

“The Ahmadis can move out if they don’t feel safe,” he said. “The preaching at mosques has gotten worse — there are calls to kill, attack and hang the Ahmadis.”

Bogor Police Chief Dadang Rahardja said “the good news” is that seven of the Ahmadi villagers who were attacked on Friday “will declare themselves Muslim, and they decided this by their own will.”

He denied that police officers had intimidated Ahmadis. “It was only socialization. We will not force them because faith is about human rights.”

Source: The Jakarta Globe

Selasa, 08 Maret 2011

Calls for end to Bahrain monarchy

Three Shia opposition groups join forces to demand an end to the kingdom and establishment of a 'democratic republic'.

Three Shia opposition groups in Bahrain have announced their intent on toppling the Sunni monarchy and setting up a republic.

The declaration on Tuesday is likely to raise already inflamed tensions in the country, ahead of a planned march on the royal court.

Labelled the "Coalition for a Bahraini Republic," the group said in a statement that they "declare a tripartite coalition between the Wafa, Haq and Bahrain Freedom Movement that has chosen to fight for a complete downfall of the regime, and the establishment of a democratic republic in Bahrain".

"The coalition believes that the main demand of the popular revolution is the downfall of the current oppressive regime and the establishment of a democratic republic that expresses the desires of the people."

Anti-government protests in the Shia-majority, Sunni-ruled country entered the 23rd day on Tuesday, amid a wave of pro-democracy unrest that has gripped the region for weeks and toppled regimes in Egypt and Tunisia.

Other Bahraini opposition groups, including the main Shia Wefaq group, have stopped short of demanding outright regime change, instead calling for major reforms including an elected parliament "with full legislative powers".

"We are different in the demands, but it doesn't mean we can't cooperate," Haq leader Hassan Mashaima told AFP news agency.

"I believe that ... there is not much difference between a constitutional monarchy like in Holland or in Britain, there is not much difference between that and a republic."

''Real' constitutional monarchy

Wefaq and other opposition groups have called for a "real" constitutional monarchy to be established in Bahrain.

But Mashaima said that he does not trust that a constitutional monarchy along those lines would be implemented even if it was promised.

"This is why we chose changing the regime to a republic."

Meanwhile Wefaq said that it and six other opposition groups had held talks on Monday with the pro-government National Unity Assembly and agreed on the importance of working against sectarian tension.

National Unity Assembly leader Sheikh Abdul Latif al-Mahmud told reporters after the meeting that there was agreement with the opposition on the need for "strategic solutions to problems faced by Bahrain".

He said constitutional reform was a priority.

Demonstrators continue to keep vigil in hundreds of tents in the capital Manama's Pearl Roundabout, which has become the focal point of the protests.

source: aljazeera

Al-Qur'an Sumber segala kebenaran

Dari Nur suci Al-Qur’an muncul hari yang terang
Angin musim semi semilir mengusap kuntum hati.

Mentari pun tidak memiliki Nur dan kecemerlangan ini
Pesona dan keindahannya pun tak ada pada rembulan.

Yusuf dilemparkan sendiri ke sebuah lubang
Sedangkan Yusuf9 yang ini telah menarik manusia ke luar lubang.


Dari sumber segala ilmu, ia telah mengungkap ratusan kebenaran
Keindahannya menggugah wawasan mulia.

Tahukah kalian betapa luhur fitrat pengetahuan miliknya?
Penaka madu surgawi menetes dari wahyu Ilahi.

Ketika mentari kebenaran ini muncul di dunia,
Semua celepuk yang memuja kegelapan, bersembunyi semua.
Tak ada yang bisa merasa pasti di dunia ini,
Kecuali ia yang berlindung dalam wujudnya.

Ia yang diberkati dengan pengetahuannya
Menjadi khazanah pengetahuan,
Ia yang tidak menyadarinya
Serupa mereka yang tak tahu sesuatu apa.

Hujan rahmat Ilahi menghampiri dirinya
Wahai sialnya mereka yang meninggalkannya dan mencari yang lain.

Kecenderungan kepada dosa adalah gejala syaitan bernoda
Yang kuanggap manusia hanya mereka yang meninggal kannya.

Wahai tambang keindahan, aku tahu sumbermu
Engkau adalah Nur dari Allah yang mencipta semesta.

Aku tak hasrat dengan siapa pun, hanya engkau kasihku
Kami telah menerima nurmu dari Dia yang mendengar doa.

(Barahin Ahmadiyah, sekarang dicetak dalam Ruhani Khazain, vol. 1, hal. 304-305, London, 1984).

Banning Ahmadiyah not a solution

Banning Ahmadiyah not a solution: Yenny
The Jakarta Post, Jakarta

Wahid Institute executive director Yenny Wahid said Tuesday that East Java Governor Soekarwo’s decision to ban the Ahmadiyah sect in her province was not an effective solution as plenty of other factors would need settling after that.

“After being dissolved and banned, what next? Oust Ahmadiyah followers from East Java? Then where will they go?” Yenny said after a discussion at the Wahid Institute in Jakarta.

She said there must be a more realistic solution in responding to the Ahmadiyah issue.

“Will they have to ask for asylum overseas?” Yenny added as quoted by Antara.

On Monday, the East Java governor issued a decree in Surabaya that prohibited all Ahmadis in Indonesia’s second most populous province from any kind of activities related to Ahmadiyah.

Yenny considered the ban that violates the Constitution, which guarantees all citizens can embrace their own beliefs without intervention from the government, as unacceptable.

Whatever Yenny’s objections are, however, calls for banning Ahmadiyah have continuously been echoed by various elements of Muslim society members.

In Jakarta, Islam Defenders Front (FPI) activists staged a rally Tuesday to demand the banning of Ahmadiyah teachings in Indonesia.

Earlier, a number of Islamic organizations and the Indonesian Ulema Council (MUI) in Banten had asked the government to ban Ahmadiyah in the province.

In Makassar, South Sulawesi, the Islam Congregation Forum, which groups 18 Islam organizations, urged the local administration to issue a decree on the Ahmadiyah banning.

The demand was aired in a mass rally in front of the provincial legislative council’s building. They claimed that the dissolution of Ahmadiyah was not negotiable as the sect was considered to have tainted the religion of Islam and had sparked unending conflicts.

thepersecution.org

Muhammad saw penghulu dan pembimbing

Muhammad saw penghulu dan pembimbing

Nabi yang bernama Muhammad itu,
Kami selalu berpegang kepada jubahnya.

Kasihnya yang masuk tubuh melalui susu ibu kami,
Menjadi nyawa kami yang bertahan sampai maut nanti.

Ia adalah Nabi terbaik dan makhluk tersempurna,
Kenabian menjadi sempurna dalam dirinya.


Kami minum dari sumber mata airnya,
Siapa yang telah kenyang, masih akan dipuaskan olehnya.

Apa pun wahyu atau ilham yang dikaruniakan kepada kami
Adalah karenanya, bukan karena diri kami.

Melalui wujudnya kami diberkati bimbingan dan kesempurnaan,
Tanpa dirinya, tak mungkin kami bertemu dengan yang Maha Abadi.

Mengikuti ajarannya tergurat di hatiku,
Apa pun yang berasal daripadanya adalah imanku.
(Siraj Munir, Ruhani Khazain, vol. 12, hal. 95).

sumber: narasumberislam.blogspot.com

Kata Mereka: Ahmadiyah adalah Islam Sejati

Kata Mereka: Ahmadiyah adalah Islam Sejati

“Ahmadiyah adalah Islam sejati dan Islam yang hakiki ini hanya bisa berkembang melalui Ahmadiyah ini. Saya baru melihat Islam yang sebenarnya melalui Ahmadiyah, dan sebelum ini saya tidak pernah melihat ajaran seperti ini ditampilkan oleh kelompok-kelompok Islam lainnya. Dan apa yang mereka tampilkan adalah persaudaraan sejati, keikhlasan dan pengkhidmatan insaniyyat. Semuanya merupakan asas kehidupan bermasyarakat yang paling penting sekali. Orang-orang Ahmadiyah adalah perwujudan dari slogan Love for all hatred for none. Semua mazhab atau agama harus mengambil teladan dari mereka ini. (Menteri Luar Negeri dari Benin (Afrika) Dr H. Alexander (seorang Kristen)


***
Sekarang saya akan mengemukakan beberapa kesan-kesan yang dikemukakan oleh beberapa orang tamu yang belum masuk ke dalam Jamaah Ahmadiyah, namun mereka ikut serta di dalam Jalsah kita ini karena mereka mempunyai hubungan erat dengan Ahmadiyah, mereka telah mendapat kesempatan untuk menghadiri Jalsah ini. Mereka terkesan oleh keterampilan dan dedikasi para petugas Jalsah dan juga sangat terkesan oleh suasana Jalsah yang mengagumkan. Demikian juga orang-orang Ahmadi yang baru pertama kali menghadiri Jalsah di sini sehingga menimbulkan perubahan dan kesan baru dan segar di dalam kehidupan mereka.

Pertama-tama seorang President of Carel Marck Party di Swedia bernama Roger Caliph, beliau berpidato di dalam Jalsah mengatakan: "Di Swedia sering saya menghadiri berbagai macam pertemuan selain pertemuan yang diselenggarakan oleh partai saya sendiri juga, saya sering menghadiri jalsah-jalsah atau convention juga, banyak orang-orang asing yang hadir di dalamnya, namun suasana kecintaan dan persahabatan diantara berbagai bangsa yang hadir dan bermacam ragam pakaian para peserta, tidak pernah saya lihat seperti disini, dan khasnya setelah mereka mengikuti acara begitu panjang dan lama, ketika mereka keluar dari markee tidak nampak seorang pun yang merasa letih atau lelah, saya lihat mereka bertemu satu-sama lain disetiap kesempatan dengan rasa cinta dan persahabatan yang sangat mengesankan sehingga perasaan lelah dan letih sama sekali tidak mempengaruhi mereka. Orang Swedia ini seorang politisi berumur 75 tahun mengatakan bahwa selama tiga hari saya menyaksikan suasana pergaulan yang sangat akrab dan saling mencintai sesama yang lain dan saya lihat di Jalsah Gah, satu waktu mereka berdiri bersama-sama dan satu waktu mereka duduk kemudian pergi dari sana bersama-sama pula. Selama 75 tahun saya tidak pernah menyaksikan dan menikmati pertemuan seperti ini, begitu akrab dan terasa hangatnya saling hormat-menghormati satu-sama lain.”


Sesudah itu seorang Professor dari Kazakistan, telah menulis bahwa pertemuan Jema’at Ahmadiyah ini telah berjaya, sukses menampilkan keindahan dan ketinggian ajaran Islam dan mengajarkan saling menghormati terhadap sesama pandangan dan ajaran agama atau mazhab lain. Dan usaha semacam ini tidak diragukan lagi akan memperoleh kejayaan. Semoga Allah swt memberi kemajuan dan kejayaan kepada Jema’at Ahmadiyah. Kami pertama kali datang kesini dan tidak terbayangkan sedikit pun bahwa kami akan disambut dan dihormati seperti ini, dan kami alami selama tiga hari disini.

Seorang proffessor lagi dari Kazakistan juga yang menulis katanya, “Saya sangat terkesan oleh ajaran Ahmadiyah dan ini merupakan langkah pertama bagi saya. Dan saya sudah ketahui ajaran-ajaran Ahmadiyyah ini yang betul-betul menanamkan simpati insaniyyat, aman-damai, dan saling hormat-menghormati satu sama lain dan menaruh rasa hormat terhadap semua para Anbiya. Mereka siap mengemban tugas untuk menyampaikan amanat itu ke segenap penjuru dunia. Dengan menghadiri Jalsah Salanah ini nampaklah bahwa dalam pandangan Jema’at Ahmadiyah menghargai semua makhluq dan menaruh simpati kepada mereka adalah perkara yang penting sekali. Dari pembicaraan dengan para delegasi dari berbagai negara, saya mengetahui bahwa Jema’at Ahmadiyah banyak membantu negara-negara miskin di dunia yang sangat memerlukan bantuan dalam pembangunan sekolah, hospital, perpustakaan dan sarana-sarana umum lainnya. Dan bantuan seperti itu semua sangat penting sekali. Saya menyaksikan keindahan akhlaq mereka merupakan hal yang sangat istimewa sekali. Orang-orang Ahmadi yang datang dari berbagai negara untuk menghadiri Jalsah Salanah ini sangat memahmi ajaran Hazrat Mirza Ghulam Ahmad dan aktif mengamalkannya. Dan kami menyadari bahwa melayani dan mengkhidmati puluhan ribu orang tamu adalah pekerjaan yang sangat susah sekali. Sedangkan mereka yang melaksanakan tugas di dalam Jalsah Salanah ini hanya mengharapkan keridhaan dari Tuhan mereka.”

Demikianlah pandangan seorang tamu ini yang harus selalu diingat, bahwa semua para petugas Jalsah Salanah mengkhidmati para tamu semata-mata demi meraih keridhaan Allah swt. Selain itu seorang perempuan dari Kazakistan menyampaikan pernyataannya, “Perangai dan perilaku orang-orang yang melayani kami sebagai tamu demikian baiknya seakan-akan kami ini tamu-tamu yang telah lama mereka tunggu-tunggu kedatangan kami. Keadaan dan keperluan-keperluan kami sangat diperhatikan oleh mereka. Kami dengan hati ikhlas mendo’akan untuk kemajuan Jema’at Ahmadiyah ini dan semoga ajaran hakikinya berkembang dengan pesat hingga menembus kota-kota dan kampung-kampung di seluruh pelosok dunia.”

Seorang Menteri Luar Negeri dari Benin (Afrika) Dr H. Alexander (seorang Kristen), di waktu saya mengunjungi negaranya beliau ini sengaja datang menyambut saya, dan sejak itulah terjadi persahabatan yang akrab dengan beliau. Beliau menulis: “Ahmadiyah adalah Islam sejati dan Islam yang hakiki ini hanya bisa berkembang melalui Ahmadiyah ini. Saya baru melihat Islam yang sebenarnya melalui Ahmadiyah, dan sebelum ini saya tidak pernah melihat ajaran seperti ini ditampilkan oleh kelompok-kelompok Islam lainnya. Dan apa yang mereka tampilkan adalah persaudaraan sejati, keikhlasan dan pengkhidmatan insaniyyat. Semuanya merupakan asas kehidupan bermasyarakat yang paling penting sekali. Orang-orang Ahmadiyah adalah perwujudan dari slogan Love for all hatred for none. Semua mazhab atau agama harus mengambil teladan dari mereka ini. Mula-mula saya tidak yakin bahwa jumlah peserta Jalsah mencapai tigapuluh ribu atau lebih, tetapi setelah saya menyaksikan sendiri, keadaannya betul-betul sangat mengagumkan. Melayani puluhan ribu tamu, makan-minumnya, akomodasinya, dan segala jenis keperluan mereka bukan pekerjaan yang mudah. Mereka telah menunjukkan pengkhidmatan yang sangat luar biasa dengan air muka ceria, ramah-tamah dan sangat sopan-santun terhadap sesama seakan-akan mereka ini bukan makhluk biasa melainkan para malaikat telah turun dari langit dan tinggal di atas bumi ini. Dalam pengaturan pelayanan diikut sertakan anak-anak kecil juga yang nampaknya sudah dilatih dengan cermat sehingga mereka sangat lucu dan manis dalam mengkidmati dan melayani para tamu. Alangkah baiknya jika keadaan anak-anak seperti ini juga terdapat di negara kami Benin, sehingga manusia akan mengenang mereka sepanjang hayat. Saya menyaksikan suatu kelompok para pemuda Ahmadiyah yang sangat bersahabat dan giat menciptakan suasana aman damai, keadaan seperti ini tidak terdapat dinegara kami Benin. ”Beliau menulis lagi: “Pada detik-detik bai’at Internasional dan mendengar pidato penutupan dari Huzur, saya menyaksikan dunia telah berubah (padahal beliau seorang Kristen) dan saya berharap semoga Islam ditakirkan menjadi agama kami semua dan menjadi sarana hidayah bagi kami. Di waktu bai’at Internasional saya menyaksikan orang-orang menangis sambil menyapu air mata yang bercucuran membasahi muka mereka. Saya merasakan ada sesuatu sedang turun dari langit kepada mereka dan kami pun termasuk di antara mereka. Saya ingin cepat kembali ke negeri saya Benin dan memberi tahu kepada orang-orang di negeri saya bahwa hanya Ahmadiyah-lah yang bisa menjadi tempat bernaung bagi manusia untuk menjalani kehidupan aman damai didunia. Kehidupan yang aman tenteram tidak ada rasa takut di dalamnya dan dari segi lain Jema’at inilah yang bisa menjalin kita dengan Tuhan. Hamba Allah yang benar apabila berjalan menyampaikan amanat kebenaran kepada manusia pasti banyak manusia yang menentang dan merintanginya. Akan tetapi apabila saya sudah sampai kembali kenegeri saya Benin maka tidak akan ada masalah bagi Jema’at di sana. Akhirnya beliau berkata kepada saya: “Di Benin juga sudah ada anak Tuan.”

Dari Siera Leone (Afrika Timur) Chief Justice Abdullah Shiekh Fuhana menulis: “Jalsah Salanah yang sangat luar biasa ini akan selalu menjadi kenangan bagi kami. Banyak tamu datang dari berbagai negara yang berlaku seperti saudara kandung sendiri, sama-sama menunaikan sembahyang dan sama-sama berdo’a untuk kemajuan Islam.”

Seorang Gubernur dari Burkina Faso telah menulis: “Saya yang lemah ini telah datang menghadiri Jalsah ini sebagai wakil dari negeri saya dan saya menyatakan rasa penuh simpati kepada Pemimpin Jema’at Ahmadiyah. Di dalam Jalsah ini tidak ragu lagi saya telah menyaksikan berbagai macam bangsa di dunia dan telah duduk bersama-sama di dalam Jalsah ini. Semua sangat menghormati hak sesama insan. Di dalam Jalsah yang sedang berlangsung ini tidak ada sebarang perbedaan ras atau keturunan dan bangsa, semua menjadi satu. Motto Ahmadiyah “ Love for all hatred for none” sangat jelas sekali tengah mereka amalkan. Hendaknya bangsa-bangsa di seluruh dunia mengambil faedah dan mengambil contoh dari motto tersebut. Jema’at Ahmadiyah yang dipandang dengan hormat dan kebesaran diseluruh negeri kami, dalam tempo hanya dua puluh tahun saja Jema’at Ahmadiyah telah menawan hati rakyat Burkina Faso sampai ke pelosok-pelosok negeri. Kami telah mengenal betul Ahmadiyah ini mengkhidmati insaniyat tanpa pilih keturunan, kepercayaan, dan warna kulit. Jema’at Ahmadiyah bukan hanya menyediakan santapan ruhani belaka bahkan setiap keperluan jasmani manusia juga, dan dalam menyediakannya senantiasa berdiri dibaris paling depan. Karena Ahmadiyah telah banyak membantu menyediakan sarana pendidikan, sarana air minum, sarana kesehatan yang sangat baik sekali maka pada kesempatan Hari Kebangsaan Kepala Negara Burkina Faso telah menganugerahkan medali mas sebagai penghargaan kepada Jema’at Ahmadiyah.”

Sesungguhnya kita berkhidmat kepada siapa pun dan di mana pun bukan untuk memperoleh suatu penghargaan melainkan demi kepentingan kemanusiaan. Demikianlah perasaan hati para pengkhidmat dan para petugas Jalsah Salanah juga.

Setelah itu Mrs Ibrahim Jama Garba seorang Niger dari Miami mengatakan: “Saya sangat terkesan oleh motto “Love for all hatred for none” saya menyaksikan semua orang Ahmadi tua-muda besar-kecil mempunyai perilaku yang sama terhadap semua pendatang dari berbagai tempat di dunia yang terdiri dari berbagai jenis bangsa, agama dan warna kulit mereka. Mereka memperlihatkan kecintaan kepada semua. Kami merasa sangat terkesan oleh perhatian dan pelayanan mereka yang sangat baik kepada kami yang tidak mungkin bisa kami lupakan sepanjang hidup kami.

Seorang Ahmadi dari Amerika bernama Nuruddin Sahib mengatakan; Saya pertama kali datang menghadiri Jalsah disini, melihat perilaku sangat baik dan menyenangkan dari para petugas tidak kuasa menahan air mata bercucuran. Dan saya pun mulai menangis karena sangat terharu mengenang kepada kebaikan Tuhan yang luar biasa ini. Saya berjanji tidak lama lagi akan menulis sebuah buku tentang pengalaman yang saya saksikan dan peroleh di sini. Lidah saya tidak kuasa untuk menguraikan apa yang terkandung di dalam perasaan hati saya. Sebab mengungkapkan kemurahan, kasih sayang dan rahmat Tuhan merupakan pekerjaan yang sungguh sulit sekali. Saya ingin kembali ke Amerika setelah banyak meminum air ruhani, saya akan bertobat dari semua dosa dan akan saya tinggalkan semua keburukan saya, dan saya akan berusaha sekuat tenaga untuk menyampaikan amanat Hazrat Rasulullah saw dan Guhlam Sadiq beliau, Hazrat Masih Mau’ud a.s. kepada orang lain.”

Honorable Mrs Soad Rujuk, Muslimah Member of Parlement Belgium dan beliau berasal dari keturunan Arab Moroko, beliau telah memberi sambutan juga di dalam Jalsah ini, mengatakan; “Menghadiri Jalsah ini merupakan pengalaman pertama yang tidak pernah saya pikirkan sebelumnya, saya duduk berdampingan dengan Hazrat Begum Sahibah dan beliau menjelaskan kepada saya tentang wafat Nabi Isa a.s., mengenai kemuliaan dan keagungan Hazrat Rasulullah saw dan mengenai kedatangan Hazrat Imam Mahdi Masih Mau’ud a.s dan tentang Jema’at Ahmadiyah, lebih kurang setengah jam saya mendengar penjelasan dari beliau. Sesudah itu saya dipertemukan dengan seorang muballigh dan saya duduk dekat beliau. Beliau memberi penjelasan demikian meresapnya di dalam pikiran saya sehingga hati dan pikiran saya sudah berobah total. Karena saya ingin mendapat penjelasan lebih lanjut tentang Imam Mahdi a.s. saya duduk sampai tengah malam mendengarkan penjelasan dari beliau. Setelah mengenal Ahmadiyah adalah Islam hakiki, saya telah mendapatkan kehidupan baru dari Allah swt. Melihat masa depan Ahmadiyah demikian cerah dan gamblang saya ingin terus mendapat penjelasan tentang Imam Mahdi dan Jema’at Ahmadiyah. Dan jika Tuhan menghendaki saya akan masuk ke dalam Jema’at Ahmadiyah. Dan bukan hanya saya saja yang akan masuk kedalam Jema’at Ahmadiyah melainkan semua saudara saya, Ibu bapak saya dan semua teman dan kerabat yang dekat dengan saya akan saya bawa sama-sama masuk ke dalam Jema’at Ahmadiyah ini. Ketika saya mendengar pidato penutupan Huzur yang berkaitan dengan orang-orang Ahmadi Bangsa Arab, Huzur mengatakan: “Kalian bangunlah!! Ini kewajiban kalian semua untuk menyampaikan amanat Hazrat Imam Mahdi a.s. dan pergilah ke Mekkah dan panjatkanlah banyak-banyak do’a di sana!” Pada waktu itu saya sangat terharu dan menangis sambil mencucurkan air mata yang tak tertahankan, sebab saya juga seorang perempuan asal bangsa Arab dan sehari sebelumnya Hazrat Begum Sahibah telah menjelaskan kepada saya tentang kebenaran Hazrat Imam Mahdi a.s. dan perlunya seorang Imam Zaman yang sangat mengesankan hati saya. Sekali pun di banyak negara orang-orang Ahmadiyah sedang diperlakukan dengan zalim dan biadab, namun saya berjanji pada Jalsah tahun depan saya akan datang kembali ke sini dan tidak akan sendirian melainkan dengan membawa para anggauta parlemen juga.”

Jadi hal itu semua merupakan karunia Allah swt dan merupakan buah dari tabligh secara diam-diam atau secara perorangan yang tidak nampak kepada orang lain. Banyak orang terkesan dengan menyaksikan suasana Jalsah disini merupakan tabligh juga, ada juga khuddam yang bertabligh secara perorangan terhadap supir bis bangsa Iran menjelaskan tentang wafat Nabi Isa a.s. dan tentang kedatangan Hazrat Masih Mau’ud a.s. semua ini merupakan kesempatan tabligh yang sangat baik sebagai karunia Allah swt dan natijahnya akan timbul setelah beberapa waktu kemudian.

Seorang perempuan Ahmadi mengatakan saya pertama kali menghadiri Jalsah disini dan perasaan serta kesan yang menguasai pikiran saya tidak bisa dizahirkan dengan kata-kata. Menyaksikan keagungan Jalsah ini, keindahannya, pengaturannya dan menyaksikan perangai serta perilaku para petugas yang menjalankan duty mereka dengan semangat dedikasi, serentak timbul pertanyaan di dalam hati saya : “Siapakah di dunia ini yang bisa melakukan pekerjaan seperti ini, siapa yang bisa melayani tamu yang jumlahnya begitu banyak, siapa yang bisa menghimpun puluhan ribu hati manusia menjadi satu, jawabannya hanya satu adalah Tangan Tuhan dan Tangan Dialah Yang kuasa untuk menanamkan kecintaan di dalam hati manusia. Dan Dialah Yang memberi kemudahan di dalam semua pekerjaan. Duduk di tengah-tengah para peserta Jalsah keadaan diri terasa berobah secara total dan timbul kesan yang sangat dalam dan kuat di dalam hati saya yang membangkitkan semangat iman. Badan saya terasa gemetar dan air mata pun tak tertahan mengalir membasahi muka saya. Rahmat Tuhan nampak turun di semua ufuk (penjuru), hati runduk merebah dan sujud di haribaan Tuhan Maha Kuasa, sambil memohon ampun dari segala dosa yang pernah saya lakukan, sehingga saya merasa bahwa jarak perjalanan menuju akhirat sudah terasa sangat dekat sekali.”

Seorang perempuan Ahmadi bernama Riza Begum Sahibah, menulis: “Pada acara akhir Jalsah Salanah, perasaan hati saya mengatakan, apabila saya sudah kembali ke Mesir, saya akan berkata sambil berteriak kepada orang-orang di sana: Hai ummat Rasulullah (saw) bangunlah dari tidur kalian, sekarang Imam Mahdi kalian sudah datang dan tanda-tanda akhir zaman sudah zahir semuanya dan cepatlah bangkit untuk menyelidiki kebenarannya.”

Seorang perempuan bernama Azizah Amano Ode Sahibah mengatakan, saya baru pertama kali menghadiri Jalsah ini, saya sangat terkesan dan sangat merasa heran menyaksikan bagaimana mengatur tamu begitu banyak dalam satu waktu dilayani dan dikhidmati dengan baik dan teratur sekali.”

Muflih Audah berkata: “Liputan Jalsah Salanah sangat baik sekali dan saya sangat terkesan oleh pelayanan dan kebaikan dari para petugas Jalsah, sungguh menakjubkan. Semua pertanyaan yang timbul di dalam benak saya sepanjang tahun telah terjawab semua setelah saya mengikuti semua acara Jalsah Salanah ini.”

Ibrahim Kazak Sahib berkata: “Saya merasa Jalsah ini telah berlangsung sangat istimewa sekali bagi Bangsa-bangsa Arab, sehingga semua kebohongan dan tipu daya mereka akan zahir dan akhirnya insya Allah orang-orang Arab secara berbondong-bondong akan menggabungkan diri dengan Jema’at Ahmadiyah laksana sebuah bendungan telah terbongkar dan runtuh. Kecongkakan dan kesombongan para penentang akan dipatahkan. Dan tidak lama lagi masanya bendera Imam Mahdi akan berkibar dengan megah di seluruh dataran negeri Arab. Dan ilham dari Allah swt kepada Hazrat Masih Mau’ud a.s. ini : ??????????? ????????? ????????? ?? ????????? ???????? Yusolluna ‘alaihal arab wa abdalusy syam Mereka akan menyampaikan selawat kepadanya dan juga para tokoh agama negeri Syam. akan segera sempurna dengan cemerlang dan semarak.

Banyak sekali surat-surat khasnya dari negara-negara Arab telah diterima yang isinya menyampaikan ucapan tahniyah atau selamat dan mubarak atas berlangsungnya Jalsah Salanah dengan penuh suksess, sehingga zahir sekali bahwa karunia Allah swt telah turun secara khas di atas Jalsah Salanah ini. Disini telah berhimpun berbagai jenis bangsa dan para hamba sahaya Hazrat Masih dan Mahdi a.s. sibuk berusaha demi meningkatkan keruhanian mereka. Dan mereka sedang berderap maju dengan semangat keruhanian baru. Pesan dan kesan serta ucapan selamat dan mubarak berdatangan dari setiap penjuru dunia sangat banyak sekali jumlahnya, sangat menggugah perasaan dan mengharukan sehingga tidak mungkin bisa dizahirkan secara lisan. Sesuai dengan janji Allah swt kecintaan dan cinta kasih terhadap Hazrat Masih Mau’ud a.s. telah ditanamkan di dalam hati para pengikut beliau a.s. yang pada zaman sekarang ini tidak ada duanya di seluruh dunia. Dan selain kepada beliau mereka sangat mencintai Khilafat juga. Semoga Allah swt meningkatkan terus keikhlasan dan kecintaan ini di dalam hati kita semua. Dan semoga rasa syukur terhadap nikmat-nikmt Allah swt lebih nampak dari masa sebelumnya. Dan semoga pusat kecintaan kita semua terletak pada Zat Allah swt. Untuk itu semua semoga Allah swt memberi taufiq kepada kita, Amin !!

sumber: tamanjati.blogspot.com

Template by:
Free Blog Templates